RADAR GARUT – Imam Abu al-Faraj ibn al-Jauzi atau lebih dikenal dengan Ibnul Jauzi (508 H-597 H) salah seorang ahli fiqh, ahli tafsir, ahli tata bahasa dan sejarawan, menyatakan bahwa ada lima makna pokok taqwa dalam al-Quran. Beberapa ulama lain semisal Imam Al-Firuzabadi (1329–1414 M), penulis kitab Al-Qamus al-Muhith wa al-Qabus al-Wasith, dan juga Ibnu al-ʿImad (1623-1679 M) dalam kitab Kasy al-Asrar, mengungkapkan hal yang sama.
Pertama, taqwa sebagai rasa takut. Sebagaimana dalam QS. Al-Hajj, 22: 1, “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat)”.
Hari kiamat digambarkan dalam al-Quran sebagai suatu hari yang pasti terjadi dan pada hari itu tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan, dan tidak ada lagi syafaat, tidak ada pertolongan dan belas kasihan dari siapapun. Maka yang pantas ditakutkan oleh setiap manusia adalah hari kiamat.
Baca Juga:Gubernur Luncurkan Program Stopper Jabar di Kota BanjarKapolres Berbagi Makanan di Hari Jadi Kota Banjar
Kedua, taqwa dengan makna ibadah sebagaimana dalam QS. Al-Nahl, 16: 2, “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”. Hanya dengan beribadah kepada Allah saja dan tidak kepada selain Allah yang akan menyelamatkan seseorang dari siksa api neraka.
Ketiga, taqwa yaitu meninggalkan maksiat sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah, 2: 189, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Dijelaskan dalam ayat itu, tentang kebiasaan orang-orang Anshar, kaum Quraisy dan kaum Arab lainnya ketika selesai melaksanakan haji, mereka tidak memasuki rumah mereka melalui pintu rumah, akan tetapi mereka menaiki atap rumah-rumah mereka karena berkeyakinan bahwa orang yang berihram tidak boleh memberi pembatas antara mereka dan langit. Ayat itu hendak menjelaskan bahwa yang dilakukan oleh bangsa Arab itu tidak tepat, karenanya harus dijauhi dan ditinggalkan.