RADARGARUT – Fiqh itu unik dan menarik. Lafadz fiqh pertama kali muncul dalam istilah kebahasaan ketika al-Quran diturunkan. Orang Arab pun sama sekali tidak mengenal bahkan mendengar kata itu sebelumnya. Dalam al-Quran penyebutan lafadz fiqh terdapat dalam 20 tempat, dengan pembagian 10 ayat makiyah dan 10 ayat madaniyah.
Sebagai bahasa asli dan khas al-Quran, orang Arab sekalipun ketika hendak menerjemahkan kata fiqh, menghadapi kegamangan karena sama sekali tidak ditemukan padanan istilah yang tepat. Tidak ada dalam catatan dan rekaman peradaban bangsa Arab bahkan dalam tradisi syair Arab juga bahasa non-Arab, ditemukan lafadz itu.
Sinonim lafadz fiqh dalam berbagai literatur bahasa Arab mengerucut kepada satu kata yaitu dengan arti faham. Makanya uraian dalam berbagai kitab klasik tentang padanan kata fiqh merujuk kepada literatur kajian bahasa Arab. Para ulama pada akhirnya membuat kesimpulan makna sendiri sesuai dengan yang dipahami masing-masing, karena tidak ada makna kesejarahan bahasa fiqh. Dalam bahasa Indonesia pun, fiqh diartikan sebagai mengerti atau memahami.
Baca Juga:Refleksi Beragama 01, Memahami AgamaPondok Pesantren Darussalam Kersamanah Garut Buka Kampus 2
Fiqh ketika diartikan dengan pemahaman, seolah benar bahasanya namun tidak tepat maknanya. Sebagai contoh ungkapan fiqh dalam al-Quran ketika menggambarkan perlakuan kaum Madyan yang berada di sudut wilayah Syam, dekat Hijaz kepada Nabi Syuaib. Kaum Madyan bersikukuh untuk menyembah pohon bernama Aykah, sehingga diabadikan dalam al-Quran dengan sebutan Ashab al-Aykah.
Nabi Syuaib senantiasa mengingatkan akan bahaya menyembah selain Allah. Disebutkan dalam QS. Hud, 11: 91, mereka memprotes ajakan Nabi Syuaib. Wahai Syuaib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakan itu, sedang kenyataannya kami memandang engkau seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang engkau pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami.
Al-Quran menggunakan pengantar bahasa dengan fiqh dalam kisah tersebut. Ajakan Nabi Syuaib untuk menyembah Allah bukan kepada pohon Aykah, dijawab oleh kaum Madyan dengan ungkapan “Kami tidak banyak mengerti” terhadap ajakan Nabi Syuaib.
Padahal setiap Nabi dan Rasul, diutus kepada setiap kaumnya menggunakan bahasa dan lisan kaumnya. Kaum Madyan sudah gagal faham terhadap ajakan Nabi Syuaib, bukan karena tidak faham terhadap bahasa pengantarnya, tetapi tidak faham terhadap isi pesan dan ajakannya.