Saya tidak tahu. Maksimum hanya bisa menebak. Soal anggaran riset tadi.
Mengapa Mikra memilih melakukan penelitian bidang itu?
“Agar kita bisa melompat. Kalau meneliti yang sudah ada kita hanya jadi pengikut di belakang negara lain,” jawabnya.
Mikra mengakui efisiensi solar cell-nya masih rendah. Baru 3 persen. Artinya, dari tenaga matahari yang ditangkap baru 3 persennya jadi listrik.
Baca Juga:BKPM Roadshow Edukasi NIB-OSS di Jakarta, 600 Nasabah BRI Hadir Perkuat UMKM NasionalAnggota DPRD Garut Menengok Siti Khoeriyah Korban Kebakaran di Desa Neglasari
Itu jauh dari kemampuan solar cell yang di pasaran sekarang: antara 12 sampai 16 persen. Memang ada yang mengaku bisa sampai 18 atau 20 persen, tapi begitulah marketing.
Tiga persen itu pun sebenarnya tidak masalah. Sebab investasinya juga sangat murah. Katakanlah 3 persen itu hanya 1/5 kemampuan solar cell yang anda gunakan. Tapi biayanya juga sangat kecil, tidak sampai 1/5-nya.
Konsekuensinya, bidang hamparannya harus lebih luas. Tapi sangat memungkinkan. Sebab seluruh bidang rumah Anda bisa dilapisi solar cell-nya Mikra ini.
Bahan-bahan tadi, menurut Mikra, dilembutkan. Dicampur menjadi satu. Lalu disemprotkan ke seluruh atap. Juga seluruh tembok. Semprotan itu menjadi lapisan luar atap genteng atau apa pun.
Tapi, ya itu tadi, langkah menuju ke sana masih terhenti sekarang ini.
Prof Mikra kini tinggal di Bandung. Anaknya tiga orang. Cukup. Tidak seperti dirinya: 10 bersaudara. Istrinya juga dari Dompu. Lulusan pertanian Universitas Hasanuddin. “Ibu yang memilihkan istri untuk saya. Dia murid ibu saya,” kata Mikra.
Cita-cita Mikra untuk bisa menjadi seperti Habibie tercapai. Sebagian. Ia mendapat Habibie Award tahun 2018.
Lalu, apa penyebab no 3 lemahnya perguruan tinggi kita?
Baca Juga:Keributan Warga Pribumi Diselesaikan Polsek CileungsiSoal Kasus Buang Bayi di Gang Ciawi, Tasik
Ini yang saya juga baru tahu. Kata Mikra: yang rajin melakukan penelitian dan menghasilkan jurnal ilmiah di sebuah perguruan tinggi orangnya ya itu, itu dan itu saja. Mereka itulah yang banyak mengatrol nilai perguruan tinggi.
“Tapi perlakuan kepada kelompok pengatrol mutu itu tidak istimewa. Sama saja dengan yang bukan pengatrol,” katanya.
Apakah faktor sikap beragama tidak ikut sebagai penyebab?
“Sebenarnya ikut menjadi penyebab, tapi saya takut menyebutkan. Sensitif,” katanya.
Syukurlah KTT G-20 juga bisa dipakai penggugat level perguruan tinggi kita. Siapa tahun bisa naik kelas ke 16 besar dunia. (Dahlan Iskan)