Soal harga masih memusingkan. Setidaknya sudah ada gambaran jelas: tanpa Malaysia, orang Singapura tetap bisa makan ayam –meski mahal.
Mungkin Singapura akan menyewa lahan pertanian. Perkiraan saya. Bisa di Malaysia. Bisa di Bintan. Atau di Riau daratan. Di mana pun di Indonesia. Ia bisa menanam sendiri, di lahannya sendiri, di Indonesia.
Singapura sudah banyak membantu program pertanian di Riau sampai Aceh. Syaratnya: harus menggunakan benih yang ditemukan Singapura dan menjalankan sistem pertanian yang disusun Singapura.
Baca Juga:Jelang Pemakaman, Yellow Notice Atas Nama Emmeril Khan Mumtadz Resmi DicabutGreysia Polii Masuki Purnatugas, BNI Beri Bantuan Atlet Muda Penerus Greys
Padi dan sayur Singapura dianggap unggul di tanah-tanah uji coba mereka di beberapa negara. Termasuk di Sumatera.
Singapura memang punya banyak uang. Ia bisa melakukan apa saja dengan uangnya itu. Penduduknya pun mampu membeli bahan pangan. Biarpun mahal. Pengeluaran warga Singapura untuk membeli pangan sangat kecil.
Hanya kurang 10 persen dari penghasilan. Bandingkan dengan kita: 30 persen penghasilan habis untuk membeli makanan.
Krisis pangan terjadi di mana-mana. Indonesia tergolong dapat berkah. Dua tahun terakhir tingkat hujan di Indonesia sangat baik. Pertanian berjaya.
Kecuali buah dan tembakau –yang di masa pembuahan kurang suka hujan. Tahun ini hasil buah kita kurang baik. Pun Malaysia. Panen durian musangking-nya pun kurang banyak.
Petani kita tetap bisa jadi andalan ketahanan pangan nasional. Nasib mereka sendiri saja yang kurang baik. Kurang bisa menikmati kenaikan harga-harga itu. Petani kita bukan Bayan. (Dahlan Iskan)