“Kapan Anda berubah menjadi ‘dewasa normal?” tanya saya.
“Setelah saya mempelajari neuro science. Saya jadi tahu cara kerja saraf di otak,” katanya.
“Hah?”
“Tidak mengatakan semua yang ingin dikatakan, itu adalah yang melahirkan kerja sama,” katanya.
Wow.
Dengan menyimpan sebagian yang ingin dikatakan membuat orang lain bisa menerimanya. Lalu terjadilah kerja sama.
Baca Juga:Panglima Santri Jabar Minta Kemenag Tak Bikin Gaduh Soal Suara AdzanKPM BPNT Bisa Saja Dicoret Jika Tak Patuh, Begini Kata Kades Leuwigoong
Anak autis tidak bisa menyimpan apa yang ingin ia katakan atau yang ingin ia lakukan.
Pembicaraan saya terputus. Ada telepon masuk ke HP-nya. Wajah Ryu berubah menjadi serius. “Lakukan scan. Sekarang juga. Kirim ke HP saya. 15 menit lagi saya telepon balik,” katanya. Rupanya ada pasien yang gawat.
Pembicaraan terputus lagi karena istri Butet muncul. Ia menyapa istri saya dalam bahasa daerah Kutai. Mereka pun ngobrol dalam bahasa itu dengan asyiknya.
“Istri saya Banjar, tapi rumahnyi dekat ibu kota kabupaten Kutai Kartanegara,” ujar saya menjelaskan. Sedang istri Butet asli Kutai.
Ryu tidak hanya terkenal di kalangan medis, khususnya bedah saraf. Namanya juga sering disebut sebagai pemikir ketuhanan —terutama apakah Tuhan benar-benar ada.
Sebagai neuro scientist ia mendalami sistem kerja saraf. Kalau ada waktu lagi saya akan bertanya padanya: apakah khusyuk itu gejala agama atau gejala saraf.
Jam pertunjukan pun tiba. Saya harus masuk ruang teater. Dalam gedung ini ternyata jauh lebih bagus daripada luarnya.
Baca Juga:Wartawan Garut Mendapat Perkataan Arogan dari Kepala Sekolah di PangatikanDesainer Asal Indonesia Dikabarkan Terlibat Perdagangan Organ Manusia dari Brasil
Butet muncul pertama memberi pengantar —jalannya cukup tegap meski pakai tongkat. Ia berbohong. Atau bohong sebagian.
Pentas Butet dikatakan absen lebih dua tahun karena pandemi. Ia tidak mengatakan absen itu karena ia sakit gawat nan lama.
“Judul lakon ini Tabib Suci. Ada satu huruf yang berbahaya di judul itu. Huruf T. Jangan sampai huruf T itu diucapkan pakai huruf lain. Bisa berurusan dengan penjara,” katanya.
Lakon ini dipentaskan dengan durasi 3 jam. Butet ternyata bukan pemeran utama. Ia hanya tampil tiga kali —yang sekali hanya lewat begitu saja. Benar-benar hanya lewat. Itu membuat Marwoto terinspirasi untuk melucu.