JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, rencana pengenanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sembako premium berpotensi terjadi lonjakan impor pangan seperti beras dan kedelai.
Menurutnya, ini akan menimbulkan kekacaun pasar dan merugikan petani yang menghasilkan produk premium. Untuk itu, pemerintah perlu melihat pasar bahan pokok di Indonesia secara lebih komprehensif.
“Kalau PPN sembako Premium ini tidak hati-hati, justru bisa mendistorsi pasar dan merugikan petani yang mampu menghasilkan kualitas produk yang bagus (premium),” kata Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, Senin (14/6/2021).
Baca Juga:Warga Desa Sindangsari Lakukan Tradisi Ngereyek untuk Merayakan Pilkades44 Ribu Penerima Kartu Prakerja Gelombang 17 Diminta Segera Ikut Pelatihan
Eko mengambil contoh kasus beras. Jika dikenakan PPN, maka harga beras premium lokal impor yang lebih murah dari beras premium hasil petani lokal akan lebih menarik bagi pengusaha kuliner atau restoran. Pengusaha kuliner akan beralih ke beras premium impor.
“Meskipun sama-sama kena PPN, yang impor tetap lebih murah. Akhirnya produk petani lokal yang kualitas premium tetap tidak laku. Hal sama akan terjadi pada produk lain,” ujarnya.
Selain itu, kata Eko, kebijakan ini juga tetap rentan mendorong Inflasi. Alasannya, saat ini kelas menengah Indonesia terus bertumbuh dan konsumsi beras mereka sebagian beralih ke premium. Tambahan PPN berpotensi membuat mereka beralih ke beras medium.
“Permintaan beras medium pun akan melonjak dan inflasi ikut mengalami kenaikan. Kenaikan inflasi di saat daya beli masih lemah, menurut Eko, akan mebuat pemulihan ekonomi menjadi berjalan lebih lama,” tuturnya.
Eko menyarankan, jika pemerintah tetap ingin menerapkan PPN sembako premium, sebaiknya berhenti melakukan impor secara total. Sehingga, tidak ada peluang bagi naiknya impor sembako premium.
“Selain itu, pengawasan pelabuhan juga harus diperketat agar tidak ada peluang penyelundupan,” pungkasnya. (der/fin)