GARUT – Sejak dicabutnya program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) terutama dalam pembangunan infrastruktur, namun pada dasarnya UPK (Unit Pengelola Kegiatan) PNPM masih berjalan di bidang dana perguliran (dana simpan pinjam).
Hingga kini, dana hibah (dana perguliran) yang dijalankan UPK ternyata berkembang pesat di seluruh Indonesia, bahkan di Kabupaten Garut sendiri, UPK berhasil mengembangkan dana perguliran tersebut.
Ketua Asosiasi UPK Kabupaten Garut, H Deden Hasanudin, S.H, M.H menjelaskan, sejak dihentkannya program PNPM tahun 2014, uang perguliran yang ada di UPK se-Kabupaten Garut itu berjumlah Rp 62 miliar. Hingga hari ini tercatat modal tersebut bertambah menjadi Rp 155 miliar.
Baca Juga:Ini 25 Titik Banjir di Kota Bandung Pasca Dilanda Hujan DerasDesa Cintanagara Banyak Polisi Tidur
“Dikurangi hampir Rp 13 miliar modal tidak bergerak atau bangunan. Itu sudah dari Rp62 miliar ke Rp150 sekian miliar itu kan lebih dari 200 persen (penambahannya),” ujar H Deden.
Bahkan untuk UPK Cigedug sendiri yang saat ini dikelola H Deden Hasanudin selaku Ketua UPK-nya, berkembang pesat. Dari modal awal sekitar Rp 325 juta, sampai hari ini dana perguliran UPK Cigedug berjumlah Rp 3,7 miliar.
” Jadi perkembngannya terus nambah alhamdulillah,” ujarnya.
Namun demikian, H Deden menyayangkan, kenapa hingga sekarang seolah ada upaya untuk terus mengkebiri keberadaan UPK.
Saat ini ada wacana dari Kementerian Desa, bahwa UPK akan digabungkan menjadi BUMDes atau secara tidak langsung istilahnya bahwa UPK akan dihapus dan wajib bertransformasi menjadi BUMDes (badan usaha milik desa).
Jelas saja ketika mendengar kabar tersebut, H Deden bersama jajaran UPK di seluruh Indonesia menolak wacana tersebut.
” Mereka itu sudah berwacana bahwa UPK ini bagaimana kalau dijadikan BUMDes. Tapi saya menolak karena sampai hari ini juga susah mencari aturan UPK bagaimana caranya bahwa UPK dijadikan BUMDes,” ujarnya.
“Itu kenapa karena UPK itu modalnya hibah, kalau modal hibah kemudian sekarang di ke BUMDes-kan artinya BUMDes kan badan usaha milik desa modalnya jadi milik desa. Kalau hibah kan modalnya milik masyarakat, nah ini akan bertentangan dengan peraturan menteri keuangan nomor 81 tahun 2015 yang mengatakan bahwa bantuan sosial itu (hibah) tidak boleh ditarik kembali baik oleh pemerintah desa atau pemerintah di atasnya. Jadi sampai sekarang wacana itu ya menurut saya kurang tepat lah,” ujarnya.