MEMANFAATKAN produk orang kafir hukum asalnya boleh. Kaum muslimin diperbolehkan membeli, menjual dan memanfaatkannya.
Karena menurut pandangan Islam, hukum muamalah duniawi hukum asalnya boleh. Kaidah fiqhiyyah yang ditetapkan para ulama mengenai persoalan ini adalah:
الأصل في المعاملات الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمه
“Hukum asal perkara muamalah adalah mubah (boleh), sampai datang dalil yang mengharamkannya”.
Baca Juga:ISIS Klaim Bertanggung Jawab Atas Serangan Bom di JeddahHonor Belum Dibayar, Kadisdik Minta Guru Bantu Bersabar
Bermuamalah dengan orang kafir juga dibolehkan di dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al Mumtahanah: 8).
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga memanfaatkan produk orang kafir dan bermuamalah bisnis dengan orang kafir.
Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut” (HR. Bukhari no. 2068).
Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata,
واستأجَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلًا مِن بني الدِّيلِ ، هاديًا خِرِّيتًا ، وهو على دينِ كفارِ قريشٍ ، فدفعا إليه راحلتيهما ، وواعداه غارَ ثورٍ بعدَ ثلاثَ ليالٍ ، فأتاهما براحلتَيْهما صبحَ ثلاثٍ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Abu Bakar menyewa seorang dari Bani Ad-Dail dari Bani Adi bin Adi sebagai penunjuk jalan, padahal ia ketika itu masih kafir Quraisy. Lalu Nabi dan Abu Bakar menyerahkan unta tunggangannya kepada orang tersebut dan berjanji untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga hari. Lalu orang tersebut pun datang membawa kedua unta tadi pada hari ke tiga pagi-pagi” (HR. Bukhari no. 2264).
Dari dalil-dalil di atas, jelas bahwa hukum asal muamalah duniawi dengan orang kafir itu mubah (boleh), dan tidak boleh mengatakan haram tanpa dalil. Dan tidak boleh mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ini termasuk berdusta atas nama Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” (QS. An Nahl: 116).
Baca Juga:Melawan, Pelaku Curanmor Tewas Didor PetugasWabup Ciamis: Keterlibatan Perempuan di Dunia Politik Masih Kurang
Namun demikian, tentunya hukum boleh ini bisa berubah menjadi haram ketika terdapat keharaman, seperti menjual produk yang dari sisi zatnya memang haram. semisal khamr, daging bab, atau muamalah dalam maksiat kepada Allah seperti kerjasama transaksi riba, menyewakan rumah untuk pelacuran, dan lain-lain.