Pada hal unjuk rasa ialah hak dasar warga negara untuk menyampaikan pendapatnya yang dijamin oleh UUD 1945. Tetapi perlindungan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat ini seringkali hanya berhenti di tataran retorika berlaka.
Secara substantif, urgensi perlunya revisi Undang Undang No. 2 Tahun 2002 psalnya dalam Undang Undang ini aroma militeristik masih begitu terasa. Semangat militeristik ini sudah menjadikan Polri cenderung tidak berorientasi pada kekuatan rakyat sipil untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyakaratnya.
Kelemahan lainnya terkait fungsi Polri sebagai penegak hukum, pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang ada dalam Undang Undang ini tak ada ketentuan yang jelas mengaturnya sehingga dalam pelaksanaan implementasi sering memunculkan penyimpangan penyimpangan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.
Baca Juga:Aplikasi Nonton Youtube yang Terbukti Membayar PenggunannyaAplikasi Pinjaman Online Legal Uang Me, Pinjaman Tanpa Kartu Kredit
Dalam Undang Undang No. 2 Tahun 2002 juga tidak mengatur hal-hal yang bisa mendorong akuntabilitas dan transparansi seluruh tindakan kepolisian, selain itu tidak mengakomodasi prinsip-prinsip yang berorientasi dengan transparansi tindakan sehingga seringkali disalahartikan banyak pihak termasuk masyarakat, dan ini membuat Polri berada dalam posisi yang tidak menguntungkan tentunya.
Didalam Undang-Undang Polri juga masih menitikberatkan kepada fungsi keamanan daripada fungsi pengayoman dan perlindungan masyarakat yang sesungguhnya itu menjadi fungsi pokoknya.
Selain itu, dalam Undang Undang Kepolisan tidak dijelaskan rentetan tanggung jawab korps bhayangkara.
Intinya dengan adanya revisi Undang Undang Polri dapat diharapkan akan mengantarkan institusi korps bhayangkara menjadi institusi yang berwajah sipil, demokratis dan dekat dengan rakyatnya. Institusi Polri yang melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat sebagai induk semangnya. Bukan institusi Polri yang cenderung menjadi centeng penguasa dan oligarki.