Semestinya, kesadaran untuk menghargai orang lain demi menjaga ketertiban dan keamanan sosial sudah mendarah daging. Bukan hanya bagi Holywings, siapapun mestinya menjaga perasaan orang lain. Karena inilah budaya timur, yang disebut tenggang rasa.
Ironisnya, tenggang rasa untuk saling menjaga perasaan orang lain ini ditukar dengan kepentingan kapitalis, yaitu menarik perhatian publik, mengundang costumer dengan layanan minum gratis, agar mau datang ke tempat mereka. Tenggang rasa sebagai nilai tertinggi kehidupan diperjualbelikan. Ditukar dengan harapan agar jualannya laris-manis.
Tatkala tenggang rasa sudah hilang, maka karakter sebagai manusia beradab pun juga sudah hilang. Ini yang terjadi pada dan dilakukan oleh Holywings. Karenanya, tuntutan terhadap pihak Holywings adalah meminta maaf secara langsung kepada publik, bukan sebatas postingan status di akun media sosialnya.
Baca Juga:Pernah Viral, Mie Instan Dimasak dengan Campuran Emas 24 KaratPendiri ACT Ahyudin Kembali Diperiksa
Tuntutan GP Ansor dan Banser agar pihak Holywings meminta maaf secara terbuka bertujuan untuk mengajari pihak Holywings tentang etika publik. Sebab, dengan hadirnya dunia maya, pelaku bisa saja bersembunyi, tidak menunjukkan penyesalan yang serius, bahkan bisa direkayasa. Apalagi Holywings sudah melakukan kesalahan berkali-kali.
Alhasil, bukan hanya GP Ansor, tetapi semua pihak yang mengutuk perbuatan Holywings patut diapresiasi. Di masa-masa krisis moral seperti hari ini, mengajak publik ke jalan yang berbudi pekerti luhur sangatlah penting. Terutama menghargai keragaman, perasaan, dan keyakinan setiap orang. Wallahu a’lam bis shawab.
Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015 (disway)