Tahun Baru

Tahun Baru
Dahlan Iskan mengucapkan Selamat Tahun Baru
0 Komentar

Bayangkan: saya harus tetap menulis di saat paling suntuk sekalipun. Kalau suntuknya masih pagi saya masih bisa bilang ke diri sendiri: nanti saja. Kalau sampai siang masih suntuk saya masih bisa bilang: nanti sore saja. Pun ketika sudah sore: nanti saja menjelang magrib.

Kalau menjelang magrib itu tiba tidak ada lagi ruang untuk berkelit. Harus menulis. Pun ketika belum punya ide. Pun ketika suntuknya meningkat. Pun ketika mendadak ada urusan –sampai harus menulis sambil di perjalanan.

Coba, hobi macam mana itu.

Itu sama sekali bukan hobi.

Itu siksa.

Siksa dunia.

Semoga mengurangi siksa kubur.

Tapi mengapa saya melakukan itu –memaksakan diri menulis setiap hari?

Saya teringat ayah. Almarhum.

Hari itu keluarga kami seperti mau kiamat. Kakak sulung saya –satu-satunya yang punya penghasilan tetap sebagai guru madrasah– harus pergi ke Kalimamtan: Samarinda.

Baca Juga:Omicron Naik 13,5 Persen di Jakarta, Hanya dalam 2 MingguOmicron Melonjak di Berbagai Negara

Ibu sudah lama meninggal. Sawah sejengkal sudah terjual. Meja, kursi, dipan, lemari sudah jadi nasi. Tikar mendong sudah bolong-bolong.
Kakak harus pergi. Tak terkirakan jauhnya –untuk ukuran saat itu.

Ayah tahu: anak wanitanya itu harus pergi. Saya tidak tahu –kecuali setelah dewasa: saat itu kakak lagi patah hati yang sangat berat. Calon suami pilihannyi dilarang menikahinyi: masih sepupu. Dia memilih pergi –dengan tekad tidak akan pernah kembali. Dia tinggalkan gajinyi untuk kami –lewat surat kuasa untuk mengambil gaji. Dia sudah siap menderita di rantau –daripada hancur di kampungnyi.
Pada jam keberangkatannyi seluruh keluarga, tetangga, kerabat berkumpul di halaman. Mereka menangis-nangis. Terutama ketika sado yang menjemputnyi tiba. Untuk membawanyi ke kota –dari Kota Madiun akan naik kereta api ke Surabaya, lalu naik kapal laut ke Samarinda. Pak kusir membantu kakak saya menaiki sadonya.

Berangkat.

Tidak ada lagi bunyi sepatu kuda. Tidak ada suara apa-apa. Sedu dan sedan sudah lama mengeringkan air mata.

Sado pergi.

Kakak pergi.

Tetangga pergi.

Kerabat pergi.

Yang tinggal hanya sepi.

Ayah mengajak saya duduk di emper. Di atas balai-balai bambu –amben. Lantai tanah masih basah, bekas kebanyakan disiram air agar tidak berdebu.

0 Komentar