GARUT– DPR RI mewacanakan amandemen UU 1945. Salah satunya, presiden akan dipilih oleh MPR. Bukan pemilihan yang langsung dipilih oleh rakya.
Alasannya, dalam praktik demokrasi saat ini, cita-cita reformasi masih jadi tanda tanya besar. Bahkan, biaya politik yang besar hingga adanya polarisasi.
Lewat keterangan resminya, dikutip Jumat (25/6), Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin mengatakan, gagasan besar dalam wacana amandemen kelima UUD 1945, harus dijadikan pintu masuk koreksi dan evaluasi terhadap tujuan agenda reformasi yang telah berjalan kurun waktu 23 tahun.
Baca Juga:Jokowi Diskusi dengan 34 Perwakilan Polda Soal Vaksin, Kapolda Jateng: Sanggup BapakNicho Sebagai Non Muslim Mengaku Siap Gantikan Habib Rizieq Dipenjara
Hanya saja Lanjut Sultan, kemudian timbul pertanyaan mendasar bahwa apakah cita-cita reformasi tersebut telah tercapai melalui skema demokrasi yang kita jalankan pada saat ini.
Pada awalnya, dengan hadirnya mekanisme pemilihan presiden secara langsung dapat diharapkan mendorong demokrasi di Indonesia menuju fitrahnya, bahwa kekuasaan berada ditangan rakyat.
Hanya saja lanjut Sultan, berkaca pada pengalaman pemilihan kepemimpinan nasional kebelakang secara langsung ternyata tidak serta merta mewujudkan harapan dari demokrasi tersebut.
“Dalam kurang lebih dua puluh tahun terakhir, ritual demokrasi kita telah dilakukan secara berkala. Dan pemilihan langsung baik di eksekutif maupun legislatif telah menelan biaya yang sangat besar dalam memastikan serta menyalurkan legitimasi rakyat dan justru hal tersebut tidak sebanding dengan hasil pembangunan yang diharapkan,”bebernya, Kamis (24/6).
Ratusan triliun yang digunakan dalam membiayai proses demokrasi dinilai sangat mahal. Padahal, seandainya jika sistem pemilihan dapat dikembalikan kepada MPR tentu akan lebih membuat efisiensi keuangan negara. Sebab, ongkos pemilu tersebut dapat digunakan sebagai modal pemerataan pembangunan di daerah.
Sultan menambahkan, masalah lainnya dalam proses pemilihan langsung selama ini adalah rakyat hanya diberi kesan menjadi penentu dalam rekrutmen kepemimpinan nasional. Padahal, rakyat hanya memilih calon yang disodorkan oleh partai politik atau oleh elit politik secara perseorangan.
Setelah pemilihan umum berlalu “permainan politik” dikembalikan lagi kepada para “aktor politik”, bukan kepada rakyat. Maka menjadikan kembali Presiden sebagai mandataris MPR dirasakan lebih memenuhi unsur dari sebuah esensi demokrasi.
Baca Juga:Airlangga Hartarto Minta Kader Golkar Ikut Partisipasi Tanggulangi Covid-19Kantor BPBD Ciamis Ditutup
Selanjutnya juga Sultan berpandangan bahwa pemilihan langsung presiden dan wakil presiden sangat rentan terhadap terjadinya polarisasi dimasyarakat.