Sudah lama begitu banyak yang ngomel: kok UU isinya saling bertabrakan. Bertahun-tahun omelan seperti itu menjadi wacana nasional. Saking lamanya tidak ada penyelesaian seolah bangsa ini hanya bisa menggerutu. Tidak bisa menyelesaikan.
Lalu, pemerintah sekarang ini berusaha menyelesaikannya. Lewat penggabungan menjadi satu, UU Cipta Kerja ini. Tempulu DPR-nya tidak rewel. Tempulu DPR lagi baik-baik kepada pemerintah.
Tapi tenaga kerja pasti akan berontak dengan lahirnya UU Cipta Kerja ini.
Baca Juga:Warga Mangkubumi Keracunan Massal Usai Makan Nasi KuningPupuk Bersubsidi di Ciamis Raib Entah Kemana, Petani Kebingungan
Sejak awal pun pasti sudah diketahui: tenaga kerjalah yang akan terkena langsung.
Karena itu judul UU ini pun sebenarnya sudah dipilih yang paling bersahabat dengan perasaan tenaga kerja: UU Cipta Kerja. Dikira dengan judul itu tenaga kerja akan manggut-manggut dan berdecak kagum.
Kalau saya lebih setuju dengan blak-blakan saja: UU Peroketan Perekonomian Nasional –atau nama lain yang lebih jujur. Tujuan utamanya toh itu: menggairahkan kehidupan ekonomi. Bahwa setelah ekonomi maju akan berdampak terciptanya lapangan kerja itu adalah sunatullah.
Tapi politik memang mengajarkan: jujur saja tidak cukup. Harus pandai juga berkelit.
Maka ke depan ini tantangannya di luar DPR: aksi buruh. Menteri ketenagakerjaan akan sulit tidur. Tapi ini sudah di luar kemampuan seorang menteri. Ini sudah menyangkut keamanan dan kestabilan nasional.
Memang, semua pengusaha mengeluhkan UU Tenaga Kerja yang lama. Yang dilahirkan di zaman Presiden Megawati. Dengan menteri tenaga kerjanya yang gegap gempita saat itu: Jacob Nuwa Wea.
Misalnya, bagaimana bisa ada pasal ini: seorang karyawan yang dipecat karena mencuri juga harus mendapat pesangon.
Baca Juga:Massa KAMMI Diterima Wakil Bupati Garut, Sebagian Besar Wakil Rakyat Tak KelihatanBeberapa Poin Omnibus Law yang Dianggap Mahasiswa Garut Kurang Pro Rakyat
Tapi di UU Cipta Kerja yang baru ini bukan hanya pasal itu yang dihapus. Tapi juga upah minimum, cuti pribadi, karyawan kontrak, outsourcing, dan beberapa lagi.
Dasar pemikirannya: semua ketentuan lama itu tidak membuat buruh kita punya daya saing. Kalah produktif. Produktivitas satu buruh di Tiongkok disamakan dengan empat atau delapan buruh di sini.
Di sini pemerintah dituntut untuk mampu meyakinkan buruh.
Pemerintah sudah mampu ”menundukkan” DPR. Kita tidak perlu tahu kiat apa yang dipakai untuk menundukkan para politikus itu.