Saya ke Pesantren Alhidayah lagi, ketemu Inayah lagi karena kami sedang menyiapkan edisi percobaan majalah Manzilah. Uztad Samsu sangat bersemangat mendukung. Dana awal dia sisihkan dari dana operasional pesantren. Ia juga membentuk tim pemasaran dan iklan. Agak susah mendapatkan iklan untuk edisi pertama. Tapi lumayan ada beberapa yang mau pasang dengan diskon besar. Beberapa ormas Islam memasang iklan ucapan selamat. Sebagai konsultan saya optimistis dengan majalah ini. Tim yang saya bantu menyiapkannya bekerja dengan sangat baik. Tulisan-tulisan hanya perlu sedikit disunting.
”Mas Abdur siap, ya?”
”Siap apa? Peluncuran majalah?”
”Bukan. Ketemu Ayah…”
”Kayaknya kamu deh yang tak siap… Nanya terus,” kataku.
”Kalau saya minta Mas Abdur melamar saya ke Ayah siap juga kan?”
”Harus saat ketemu nanti ya?”
”Tuh, kan nggak siap.”
Saya siap melamarmu, Inayah. Tapi yang saya tak tahu apakah saya siap hidup bersamamu setelah lamaran dan pernikahan yang pasti akan kita tentukan kapan. Apa rencanamu? Apakah saya bisa menyesuaikannya? Kita harus bicara lebih dahulu. Saya belum punya apa-apa. Rumah yang akan saya cicil itu belum selesai dibangun. Paling tidak saya harus menunggu sampai rumah itu selesai.
Baca Juga:Jebolan Deportivo Ungkap Target Jelang Curacao vs Timnas Indonesia di FIFA MatchdayHindari Minum Teh Saat Haid, Bisa Bikin Suasana Hati Memburuk
Mungkin Inayah melihat dan memahami kecemasan saya. Dia tak bertanya lagi soal rencana melamar itu. Dia hari itu mengajak saya melihat rumah yang dijual. Iklannya ada di Dinamika Kota. Rumah tipe 70, dengan tiga kamar di kawasan perumahan yang sudah jadi.
”Siapa yang mau beli?”
”Saya, dong,” kata Inayah lantas tertawa. ”Bukan. Bukan saya. Ayah yang mau beli. Dia cepat-cepat ke sini karena mau lihat rumah. Sejak kemarin dia minta saya mencari. Ini yang sepertinya cocok dengan yang dia inginkan.”
”Beliau mau pindah ke sini?”
”Nanti tanya saja ke beliau, ya…”
Setelah diam sebentar saya seperti setengah sadar bertanya ke Inayah. ”Kalau nanti ayahmu bertanya tentang diri saya, saya harus cerita apa ya?”
”Oh, itu yang Mas Abdur cemaskan? Cerita saja apa adanya, Mas Abdur. Cerita saja seperti anak ke ayah. Jangan kayak wartawan dan narasumber. Sebagai latihan, cerita dulu deh ke saya. Saya saja belum tahu banyak tentang dirimu, Mas…,” kali ini Inayah bicara sangat serius.