Penulis : RD Ahmad Buchari (Dosen pada Departemen Administrasi Publik Fisip Universitas Padjadjaran)
GARUT –Disrupsi dan era Humanity 5.0, dua istilah mengemuka telah menjadi diskursus pemikiran menarik di tengah dinamika situasi bangsa dan negara saat ini. Secara etimologis berarti ‘gangguan, kekacauan, tercabut dari akarnya’, atau dimaknai ‘disturbance or problems which interrupt an event, activity, or process’. Pengertian itu menghantarkan pada pemahaman istilah sebagai perubahan besar dan mendasar akibat kemajuan teknologi (komunikasi). Perubahan radikal itu menghantarkan semua orang (citizenship) hidup sebagai warga negara dunia (netizenship). Mereka terkoneksi melalui internet dan memiliki alamat elektronik, username, homepage, VoIP, yahoo, chrome, google, google scholar, opera untuk berselancar berkeliling dunia, berinteraksi dengan dan sebagai warga negara dunia.
Berkorelasi dengan pendidikan, terobosan pembelajaran menggunakan learning management system, massive online open courses (MOOCs), OL (online learning), open educational resources (OER), dan massive multiplayer online (MMO) merupakan hal yang takbisa dielakkan lagi, apalagi pandemi covid-19 ini. Maknanya, setiap orang terpaksa/dipaksa beradaptasi dengan teknologi, jika tidak maka menjadi gaptek (gagap teknologi). Alvin Toffler menyatakan buta huruf era revolusi industri 4.0 ini, “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn”
Baca Juga:Wow, Zaskia Sungkar dapat kado Berlian dari Nagita SlavinaBismillah, Yakin Haji Tetap Digelar Tahun Ini
Kini, dengan internet sebagai insan perguruan tinggi dan bangsa, Indonesia mengalami “air bah” informasi dengan nilai bawaannya dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila sebagai set of philosopy dan local wisdom. Pancasila harus head-to-head dengan global wisdom dan ideologi sekularisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan komunisme dengan underlying systemnya. Pertanyaan penting, mampukah PT menghadapi kondisi itu. Sejauh mana “ketangguhan” PT menjawab tantangan yang ditawarkan oleh ‘seperangkat nilai asing’ berupa sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme, kehidupan sekularistik-individualistik, sosial dan politik pragmatik-oligarkis. Apa tawaran PT menghadapi persoalan ‘nilai dan sistem asing’ yang menerobos masuk dan mewarnai nilai-nilai bangsa ini, yang secara radikal bersebrangan dengan nilai sosio-religius yang digambarkan dalam butir-butir Pancasila, apalagi agama. Nilai “asing” itu itu berupa freedom of religion melahirkan pluralisme, sinkritisme agama, freedom of speech/expression melahirkan kebebasan (pers) dan berujung maraknya buzzer, influencer, framing berita berdasarkan pesanan dan kepentingan, hoaxes, dan fake news; freedom of ownership mempraktikkan kapitalisme dalam ekonomi-perdagangan, dan personal freedom maraknya amoralitas (LGBT). Sesuatu yang “mencemaskan” dan menggerus nilai-nilai fundamental bangsa ini.