Prof. Adrianus Sebut Lapas Garut Layak Jadi Barometer Nasional dalam Pembinaan Narapidana

Guru Besar Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Meliala berkunjung ke Lapas Garut
Guru Besar Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Meliala berkunjung ke Lapas Garut
0 Komentar

Garut – Guru Besar Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Meliala, menilai Lapas Kelas IIA Garut layak menjadi barometer nasional dalam pembinaan narapidana di Indonesia. Hal ini ia sampaikan saat berkunjung ke Lapas Garut pada Selasa (15/7/2025).

Menurut Prof. Adrianus, capaian dan inovasi yang telah dijalankan Lapas Garut selama ini telah membuka mata banyak pihak, mulai dari masyarakat hingga para pemangku kepentingan. Sayangnya, pengakuan tersebut masih bersifat informal dan belum diikuti dengan penguatan kelembagaan.

“Lapas Garut ini sudah menjadi semacam barometer secara diam-diam. Tapi menurut saya, hal itu perlu diformalkan. Kalau tidak, ujung-ujungnya jadi bahan omongan, seperti ‘karena Garut dekat Bandung, dekat Jakarta, jadi gampang maju.’ Padahal semua wilayah punya karakteristik dan potensi masing-masing,” ujarnya.

Baca Juga:Pengobatan Alat Vital di Tangerang: H. Abdul Azis Siap Bantu Anda yang Lemah SyahwatSekretaris Kemenko Kumham Imipas Tinjau Program Pembinaan dan Fasilitas Lapas Garut

Prof. Adrianus mendorong agar status Lapas Garut sebagai model pembinaan pemasyarakatan dapat ditegaskan melalui regulasi resmi, baik dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan maupun Kementerian Hukum dan HAM. Dengan demikian, praktik baik yang telah dilakukan dapat menjadi acuan nasional, bukan sekadar inisiatif lokal.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kerangka hukum yang jelas untuk kerja sama publik-swasta (public-private partnership) dalam pembinaan narapidana. Menurutnya, Undang-Undang CSR yang selama ini menjadi payung hukum belum cukup menjamin keberlanjutan kerja sama yang menyentuh ranah lembaga pemasyarakatan.

“Kalau hanya mengandalkan UU CSR, belum tentu bisa nyambung dengan kebutuhan lapas yang notabene adalah lembaga tertutup. Maka perlu ada peraturan lanjutan, baik di level menteri atau dirjen, agar kemitraan ini bisa dijalankan secara masif dan aman,” jelasnya.

Ia menyoroti pula bahwa salah satu penyebab tidak maraknya program serupa di lapas lain adalah minimnya insentif atau penghargaan bagi para Kalapas dan pejabat pelaksana. Menurutnya, jika program ini dianggap strategis, maka harus ada mekanisme penghargaan formal yang juga mendukung pengembangan karir.

“Banyak Kalapas atau pejabat di lapas lain tidak termotivasi karena tidak merasa ada gunanya melakukan inovasi. Kalau memang ini dianggap baik, harus ada reward-nya. Seperti halnya restoratif justice yang sekarang sudah ada PP, Permen, bahkan jadi kecenderungan nasional,” lanjutnya.

0 Komentar