Paguyuban Guntur Berkarya telah melakukan berbagai langkah untuk mengembangkan wisata tanpa merusak kawasan. Dengan dana swadaya dari tiket kebersihan sebesar Rp10.000 per pendaki, mereka membangun fasilitas seperti saung, toilet, dan warung di perbatasan kawasan cagar alam. Namun, pembangunan ini sering terkendala karena keterbatasan dana.
“Pembangunan warung sebetulnya swadaya dari tiket kebersihan itu kami kumpulkan di paguyuban karena ada ketua, bendahara, sekertaris jadi yang kerja itu tiap sore kalau selesai kerja kalau ada sisa upah mereka kita kumpulkan dijadikan uang kas nanti dibuka ada sebulan sekali atau dua bulan sekali untuk membangun saung-saung lagi karena gak ada pemodalnya. Kadang kami pinjam uang ke koperasi untuk pembangunan, nanti dibayar dari kas pembangunan toilet, saung, warung,” ungkapnya.
Namun, karena paguyuban tersebut bermitra dengan BKSDA, mereka memberikan bantuan yang digunakan untuk keperluan di kawasan, seperti kebutuhan untuk para pendaki dan para pelaku usaha yang mengelola pendakian.
Baca Juga:Sebagian Jalan Prof. Anwar Musaddad Garut Belum Dibangun, Kondisinya Buruk SekaliKunjungan Wisatawan Naik, Dongkrak Penghasilan Pelaku Usaha Wisata di Gunung Guntur Garut
“Swadaya kelompok masyarakat kemarin juga alhamdulillah ada bantuan dana karena kami bermitra dengan BKSDA bantuan untuk sisi ekonominya seperti alat-alat pendakian kami belanjakan seperti tenda, kursi, jadi pihak BKSDA untuk meningkatkan kelompok masyarakat yang bermitra sama mereka,” katanya.
Harapan Paguyuban Guntur Berkarya agar pemerintah daerah segera mendorong perubahan status Gunung Guntur menjadi TWA.
“Aturan tetap harus dari pemerintah daerah yang mengusulkan ke pusat, kami disini juga susah untuk mengajukan itu prosesnya harus ke pemerintah daerah. Intinya kawasan ini statusnya harus berubah, kita bisa berkolaborasi dengan pemerintah untuk mengelola kawasan ini dengan lebih baik, termasuk menyelesaikan masalah tambang ilegal,” tegasnya.
Ia juga menyoroti perkembangan pariwisata Garut yang semakin ramai. Dan bisa dijadikan desa wisata, agar mereka yang berprofesi penggali pasir ilegal dapat berubah menjadi pelaku usaha wisata.
“Sekarang desa-desa di sekitar Gunung Guntur sudah menjadi desa wisata tinggal statusnya, jadi yang sudah beli mobil buat galian pasir bisa dijual misalkan diganti dengan mobil jeep buat jalan-jalan, disewain ke pengunjung gitu,” jelasnya.