HAKIKATNYA fiqh itu merupakan kata lain dari al-iman, yaitu keyakinan. Bahasa Iman diartikan sebagai keyakinan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan. Sementara bahasa fiqh diartikan sebagai keyakinan dalam bentuk perbuatan sebagai penerimaan.
Seseorang beragama Islam karena meyakini Allah sebagai tuhannya. Tetapi keimanan itu, belum tentu terwujud dalam setiap perbuatan. Disebutlah di masyarakat sebagai Islam KTP. Islam iya, tapi jarang shalat.
Dalam al-Quran, perintah beragama menggunakan bahasa pengantar fiqh, sementara bahasa pengantar tentang sumber agama (al-Quran) menggunakan ilmu. Hal ini mengisyaratkan, bahwa al-Quran, sebagai sumber agama sangat bisa dipelajari oleh siapapun termasuk oleh orang non-muslim bahkan ateis. Untuk mempelajari al-Quran, tidak ada syarat seseorang itu menerima dan meyakini terlebih dahulu.
Baca Juga:Refleksi Beragama 02, Fiqh AgamaRefleksi Beragama 01, Memahami Agama
Rumus di atas sama sekali tidak berlaku untuk agama dan dalam beragama. Walaupun seseorang sudah banyak mengetahui tentang ilmu-ilmu agama yang berdasarkan dari al-Quran, maka tidak bisa dipastikan, semua pengetahuannya tentang agama itu akan diamalkan. Umat Islam sangat sering datang ke pengajian dan majlis taklim dalam rangka memahami agama dan memperdalam ilmu agama.
Pada akhirnya, kita terjebak dengan istilah “menghapalkan agama” dan bukan “mengamalkan agama”. Karena agama itu harus diyakini terlebih dahulu, kemudian dipelajari ajaran-ajaran agama. Itulah maksud dari perintah beragama dengan bahasa pengantar fiqh. Dan itulah makna Tafaqquh Fiddin dalam al-Quran. Sangat bertentangan dengan trend kajian Islamologi yang banyak dilakukan oleh kalangan ilmuwan dan akademisi di dunia Barat.
Banyak contoh di masyarakat, tentang fenomena menghafalkan agama. Hal yang pasti dan hampir disepakati oleh semua orang yaitu aturan poligami yang sudah jelas perintahnya dalam al-Quran. Setiap muslimah, kalau ditanya tentang aturan poligami, pasti akan menjawab bahwa poligami merupakan ajaran Islam. Namun ketika ditanya, siap untuk mengamalkan syariat itu, mayoritas akan menolak. Tahu aturan, tetapi tidak untuk diamalkan.
Dalam hal zakat. Menurut Ketua BAZNAS, Noor Achmad, potensi zakat di Indonesia per tahun mencapai angka Rp 327 triliun yang terdiri dari zakat penghasilan, jasa pertanian, perkebunan, peternakan dan sektor lainnya. Dari total potensi yang ada, zakat terkumpul pada tahun 2021 hanya mencapai Rp 17 triliun.