Nun, jauh di sana. Ada sebuah nama kaki bukit yang beraroma angker. Namun, berbanding terbalik, justru masyarakatnya menampilkan pesona someah dan senyum yang khas. Teronggok dipojok terpencil di Garut sebelah utara.
Iqbal Gojali, Garut
Ditempuh dengan perjalanan yang penuh liku dan tanjakan. Untuk hanya sampai ditempat ini tidak perlu menggunakan aplikasi peta online. Percuma saja digunakan, karena sinyal menjadi persoalan utamanya.
Namun, persoalan itu tergantikan sudah, dengan sekali nanya ke masyarakat, tiba-tiba ada orang yang dengan sukarela berkenan mengantarkan sampai lokasi. Mengantar tanpa pamrih. Sebuah potret masyarakat yang jarang ditemui di kota.
Adalah masyarakat kaki Gunung Mayit namanya. Berada di desa Girimakmur kecamatan Malangbong. Seorang sosiolog Unpad, Heri Mohamad Tohari, menamai desa ini dengan sebutan Mutiara Garut Utara. Sebutan ini bukan tanpa alasan, sebab daerah ini ternyata memiliki potensi alam dan budaya.
Baca Juga:Pantai Selatan Jawa Diterjang Gelombang TinggiMesra Putri Candrawathi Pakaikan Masker Ferdy Sambo, Kuasa Hukum: Mereka Saling Sayang
Potensi sumber daya alam dibuktikan salah satunya dengan adanya pohon endemik asli daerah tersebut. Masyarakat menyebutnya sebagai “guluma”. Sejenis bambu kecil, yang sangat lezat jikalau dimasak. Menurut pengakuan tokoh masyarakat setempat yang bernama Ustad Harun Arrasyid, nama guluma diperoleh dari kirata “gugulungan jalma” ketika zaman Belanda dahulu.
Potensi budaya bisa dilihat dari adanya kesenian langka yang bernama badeng. Di daerah ini juga tumbuh subur budaya kesenian calung yang justru dilakukan oleh kaum perempuan. Geliat kebudayaan memang telah mandarah daging secara turun temurun dari kakek-buyutnya.
Namun, persoalan literasi menjadi problem keseharian masyarakat ini. Terlebih dua tahun masyarakat dunia dikejutkan dengan adanya pandemik. Praktis melumpuhkan semua kegiatan belajar-mengajar di daerah ini. Banyak siswa SD yang tidak mampu membaca.
Bahkan di salah satu RW terpencil di daerah ini memiliki minat baca yang sangat rendah. Belum ada sekolah. Kalaupun mau sekolah harus turun jauh ke bawah. Begitupun belum ada guru ataupun ustad. Masyarakat hanya manut pada ketokohan ketua RT kharismatik, berusia 92 tahun, mantan veteran kemerdekaan. Ia juga sebagai ketua dan sesepuh budaya.
Kini, persoalan literasi tersebut sedang diusahakan bersama pemecahannya. Salah satunya oleh Komunitas Literasi Kecil di daerah tersebut. Dengan hanya mengandalkan buku dan SDM seadanya, komunitas ini didirikan warga setempat bekerja sama dengan para mahasiswa yang sedang melaksanakan Masa Pengabdian pada Masyarakat (MPM) STAI Persis Garut.