oleh: Dahlan Iskan
DESA ini sunyi dan sepi. Letaknya yang di pegunungan menambahnya teduh dan damai. Memasuki batas desa ini tidak terlihat ada manusia.
Di jalan maupun di sepanjang mata bisa memandang: yang terlihat hanya rimbunan pohon bambu, tebing, jurang dan bukit.
Sampai di persimpangan jalan kecil itu tiba-tiba terbaca tulisan tangan merah berukuran mencolok: Wadas Menolak.
Baca Juga:Aula Kantor Kecamatan Cibatu Kebakaran, Kerugian Ditaksir Rp100 jutaMogok Massal Pedagang Tahu Tempe di Pasar Cikurubuk Diduga Disabotase oleh Surat Edaran Palsu
Itu di pojok kiri. Di pojok kanan ada lebih banyak tulisan. Semua bernada perlawanan. Di pojok sebelahnya lagi ada gardu dari bambu.
Ada gambar besar Gus Dur di situ. Dilengkapi kalimat yang pernah diucapkan mantan Ketua Umum PBNU dan Presiden ke-4 RI itu: Tujuan politik tertinggi adalah untuk kemanusiaan.
Saya cukup lama berhenti di simpang empat ini. Tidak ada orang lewat. Rupanya Desa Wadas merupakan desa terakhir di jalan itu. Di belakangnya sana sudah gunung batu.
Seluruh jalan di desa ini berada di antara tebing dan jurang. Tebingnya tidak tinggi. Jurangnya tidak dalam. Tebingnya penuh tanaman.
Jurangnya juga penuh tanaman. Ada sengon, jati, durian, rambutan, dan terutama bambu apus. Tidak ada satu jenis tanaman yang dominan.
Jarak antar rumah di Desa Wadas berjauhan. Hanya satu dua yang bersebelahan. Itu yang ikut membuat suasana yang sunyi.
Saya pun melewati satu toko. Tidak jauh dari situ ada masjid. Itulah Masjid Winong. Ke halaman masjid inilah Gubernur Ganjar Pranowo datang kali pertama: menemui penduduk yang pro penambangan batu di Desa Wadas. Itu tanggal 9 Februari 2022.
Baca Juga:Perceraian Vicky Prasetyo Bukan Karena Miyabi, Nabella Ungkap Fakta LainCovid-19 Meningkat di Kabupaten Garut, Nakes juga Terpapar
Saya terus ke arah gunung batu. Terlihat ada masjid yang lebih besar: Masjid Krajan. Ada tiga anak muda keluar dari masjid itu. Mobil saya pun masuk ke halaman masjid.
Saya hentikan langkah tiga anak muda itu. Ia berjalan beriringan meninggalkan masjid sambil membawa baju lusuh.
“Mau ke mana?” tanya saya.
“Mau ke sungai, cuci baju,” kata salah satu dari mereka.
Lalu muncul beberapa orang lagi. Pemilik rumah di depan masjid itu juga muncul. Itulah Kiai Nur yang sejak dua minggu lalu menggantikan Kiai Syamsu Bahri yang meninggal dunia.