Adapun jumlah lima Zona Oranye saat ini pun berkurang dibandingkan periode 29 Juni hingga 5 Juli 2020 dengan sembilan Zona Oranye, 17 Zona Kuning, dan satu Zona Merah.
Emil menambahkan, saat ini Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Jabar tengah menghitung level kewaspadaan di tingkat kecamatan untuk digunakan sebagai dasar penentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga dasar pembukaan kegiatan belajar mengajar secara fisik.
“Dari (daerah) Risiko Rendah dan Sedang ini kita akan lebih detail ke wilayah kecamatan untuk pembukaan sekolah di Zona Hijau. Akan dibahas lebih lanjut lagi,” ucap Emil.
Baca Juga:Ridwan Kamil Sebut 22 Daerah di Jabar Masuk Zona Kuning, 5 Masih Zona OranyeDBD Menyerang, Kades Padasuka Lakukan Pengasapan
Adapun dilansir situswebnya, Gugus Tugas Nasional sendiri mengategorikan risiko menjadi empat yakni Zona Merah (Risiko Tinggi) atau penyebaran virus belum terkendali, Zona Oranye (Risiko Sedang) atau penyebaran tinggi dan potensi virus tidak terkendali, Zona Kuning (Risiko Rendah) atau penyebaran terkendali dengan tetap ada kemungkinan transmisi, serta Zona Hijau (Tidak Terdampak) atau risiko penyebaran virus ada tetapi tidak ada kasus positif Covid-19.
Emil mengatakan, lima daerah di Jabar dengan status Zona Oranye tersebut menunjukkan bahwa indikasi penyebaran virus SARS-CoV-2 di Jabar terjadi dengan pola yang diketahui.
“Lokasinya di situ lagi, di situ lagi. Kalau tidak Bodebek (Bogor-Depok-Bekasi), (atau) Bandung Raya. Di luar dua itu, Insyaallah terkendali konsisten, tingkatnya sangat-sangat rendah,” ucap Emil.
Selain itu, Emil juga meminta Kepolisian Daerah Jabar untuk memperhatikan dan tetap waspada terhadap potensi wilayah perbatasan di Jabar, terutama di wilayah Pantai Utara (Pantura).
Terpisah, Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi menjelaskan, pertumbuhan ekonomi yang lambat memiliki kontribusi terhadap penggunaan tenaga kerja yang berkolerasi terhadap kemiskinan. Selain itu, faktor lain meningkatnya angka kemiskinan diakibatkan dari para pekerja yang di PHK dan dirumahkan.
Acuviarta menyebutkan, angka kemiskinan diperparah dengan tidak seimbangnya antara harga bahan pokok dan pendapatan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi.
“Nah, itu juga banyak kontibusi, meskipun mestinya dari sisi harga-harga yang berkontribusi dalam kemiskinan ini dua hal. Pertama pendapatan harus bisa menyaingi harga-harga. Oleh karena itu kalau kita lihat harga-harga sebenarnya relatif agak stabil,” kata Acuviarta saat dihubungi.