Tiap Tahun Banyak Janda Baru di Garut

Tiap Tahun Banyak Janda Baru di Garut
ilustrasi (pixabay)
0 Komentar

RadarPriangan.com, GARUT – Tiap tahun banyak janda baru di Kabupaten Garut disebabkan karena tingginya angka perceraian. Angka perceraian ini tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan.

Hingga bulan Juni 2020 saja, tercatat angka perceraian sudah mencapai 2.000 lebih perkara.

Di Pengadilan Agama (PA) Garut, per harinya minimal mencapai 100 perkara. Setiap majelis hakim, bisa menyidangkan kasus perceraian berkisar 30 sampai 50 perkara.

Baca Juga:Yayasan Sultan Sepuh IV Amir Sena, Jaga Tradisi Tawasul di Langgar AgungAda Sepeda Unik dalam Peringatan HUT Bhayangkara ke-74 di Tegal

Wakil Ketua PA Garut, Asep Alinurdin, mengatakan dalam dua tahun terakhir angka perceraian di Kabupaten Garut cukup tinggi. Jumlah perkaranya bisa mencapai 5.000 sampai 6.000 perkara setiap tahunnya.

“Tapi jumlah itu tak hanya perkara perceraian. Ada juga isbat nikah (menikah secara sah menurut agama untuk mendapatkan pengakuan dari negara) dan dispensasi nikah (perkawinan di bawah umur). Cuma kasus perceraian paling mendominasi,” ujar Asep di PA Garut, Jalan Suherman, Kamis (2/7/2020) lalu.

Adapun faktor penyebab perceraian sejauh ini mayoritas dikarenakan ekonomi. Pasangan suami istri sering berselisih paham hingga pertengkaran.

“Pertengkarannya tak hanya cekcok mulut, tapi ada juga yang sampai KDRT (kekerasan dalam rumah tangga),” ucapnya.

Para pasangan yang mengajukan gugatan cerai tersebut, lanjutnya, sangat kecil kemungkinan untuk rujuk kembali. Meski pihaknya sudah melakukan mediasi. Keberhasilan mediasi hanya di bawah 1 persen.

“Mereka yang mengajukan itu di atas 80 persen yang jadi penggugat atau tergugat tak hadir (saat dilakukan mediasi),” katanya.

Jika dilihat dari usia, rata-rata yang mengajukan perceraian berkisar antara 25 sampai 40 tahun. Hanya ada 2 sampai 5 persen usia 50 hingga 60 tahun yang mengajukan gugatan.

Baca Juga:Pencuri Spesialis Perumahan Dibekuk Polsek Indihiang500 Sampel Swab di Kota Tasik Hasilnya Negatif Covid-19

Tingginya angka persidangan, disebut Asep membuat pihaknya cukup kewalahan. Pihaknya kekurangan panitera pengganti dan petugas juru sita. Majelis hakim juga hanya ada 10 orang, padahal idealnya harus ada 20 dengan perkara yang tinggi.

“Kami mungkin sedikit terlambat dalam menangani perkara. Soalnya satu hari itu per majelisnya bisa menangani 30 sampai 50 perkara. Ada 3 majelis per hari yang melakukan sidang. Jadi bisa ada 100 sampai 150 perkara,” katanya. (igo/RP)

0 Komentar