Peringatan Ke-60 HBP, Berikan Dampak dalam Transisi Paradigma Pemidanaan

MENKUMHAM
UPACARA. Menkumham menyebut bahwa Pemasyarakatan harus siap mengambil bagian dalam transisi berbagai perubahan paradigma pemidanaan.
0 Komentar

JAKARTA – Pemasyarakatan harus siap mengambil bagian dalam transisi berbagai perubahan paradigma pemidanaan. Hal tersebut disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, saat memimpin Upacara Hari Bhakti Pemasyarakatan (HBP) Ke-60 di lapangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Senin (29/4).

Yasonna mengatakan bahwa perubahan paradigma itu bisa dilakukan melalui implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 “Pemidanaan ke depan bukan hanya mampu memberikan penyelesaian secara berkeadilan, tetapi juga memulihkan. Law as tool of social engineering. Hukum harus mampu menjadi alat untuk merekayasa social menuju kebaikan,” kata Yasonna.

Baca Juga:Perayaan 60 Tahun Pemasyarakatan: Komitmen, Transformasi, dan KemandirianWidi Nugroho, Jembatan Aspirasi Anak Muda Garut untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Menurutnya, penghukuman melalui perampasan kemerdekaan harus dilakukan perimbangan ulang, baik atas dasar kemanusiaan, filosofi pemidanaan, juga factor social-ekonomi negara. Hal lainnya juga yang perlu diperhatikan adalah upaya mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan melalui praktik pemenjaraan juga memiliki ekses yang destruktif. 

Oleh karena itu, menurutnya upaya pidana nonpemenjaraan sudah saatnya dikuatkan untuk diimplementasikan sebagai alternatif pidana yang lebih manusiawi. Dan selama ini ia menilai bahwa pemasyarakatan telah memiliki peran sentral dalam upaya penjaminan hak kepada mereka yang dikenakan upaya paksa, pembinaan bagi pelanggar hukum, dan terlibat secara signifikan dalam upaya memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana. 

“Peran besar itu harus dimanfaatkan secara benar, harus dimanfaatkan secara profesional, dan secara bertanggung jawab,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, ia juga mengingatkan agar insan pemasyarakatan tetap berpegang pada prinsip yang diikrarkan dalam Konferensi Lembang tanggal 27 April 1964, bahwa tembok hanyalah alat dan bukan tujuan Pemasyarakatan. 

Usaha Pemasyarakatan tidak hanya bergantung pada kokohnya tembok atau kuatnya jeruji besi. Pemasyarakatan adalah segala bentuk usaha untuk mengembalikan pelanggar hukum ke tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu, kedudukannya bukan terpisah dari masyarakat itu sendiri.

“Tidak adanya penolakan masyarakat terhadap kembalinya narapidana merupakan tolak ukur keberhasilan kita dalam pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, kita tidak bisa hanya berfokus kepada para pelanggar hukum saja, tetapi harus meluas sampai ke masyarakat untuk menciptakan ekosistem reintegrasi social,” katanya. 

0 Komentar