GARUT – RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) telah disepakati untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 202.
RUU ini akan mengatur hal-hal yang komprehensif terkait reformasi, pengembangan, dan penguatan sektor keuangan sebagai penyempurnaan regulasi, penataan kewenangan, penguatan koordinasi, dan mekanisme penanganan sektor jasa keuangan.
Aturan tersebut akan merevisi sejumlah undang-undang terkait sektor keuangan, seperti UU Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Menteri Keuangan menyebutkan, produk hukum tersebut akan meliputi pengaturan atau pembaruan regulasi di sektor pasar modal, perbankan, lembaga non bank, lembaga keuangan lainnya hingga sektor keuangan digital.
Baca Juga:Mabar Badminton PBSI Garut Berjalan LancarSpoiler The Penthouse 2: Cheon Seo Jin Bertemu Oh Yoon Hee dan Joo Seok Hoon
Menanggapi kehadiran RUU PPSK ini, Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, menyampaikan pandangannya. Anis menyatakan bahwa pada dasarnya RUU PPSK tidak urgen untuk saat ini.
Anis menyampaikan sejumlah alasan. Pertama, konten dari RUU PPSK lebih kepada upaya-upaya menggerogoti independensi bank sentral.
“Kami pikir ini sangat berbahaya karena independensi tersebut menjadi syarat suatu kebijakan menjadi kredibel di pasar, baik di dalam maupun di luar negeri,” ujarnya, Sabtu (20/3).
Dampak lanjutan dari kotak-katik independensi bank sentral dapat berujung pada berbagai hal terutama depresiasi rupiah.
Anis menambahkan, perlu diingat juga bahwa depresiasi rupiah yang mendalam berdampak buruk bagi perekonomian baik bagi pelaku industri maupun Pemerintah (dalam bentuk lonjakan cicilan utang maupun bunganya).
Selain itu, kerentanan depresiasi rupiah bakal meningkat karena masih tingginya porsi kepemilikan aset asing di dalam negeri baik dari pasar saham (sekitar 45 persen) maupun pasar obligasi (sekitar 30 persen). “Jadi, tolong jangan gegabah soal RUU ini,” tandasnya.
Kedua, wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) ini melihat, persoalan yang dihadapi oleh sektor keuangan Indonesia saat ini lebih kepada rendahnya peranan sektor keuangan terhadap perekonomian nasional.
“Beberapa rasio sudah mengonfirmasi hal tersebut seperti rasio M2/PDB maupun rasio kredit terhadap PDB. Data-data tersebut tidak lebih dari 40 persen. Artinya peranan sektor keuangan di Indonesia sangat dangkal,” kata Anis.
Hal inilah, lanjut Anis, yang menjadi penyebab daya saing ekonomi rendah. Banyak hal yang menyebabkan kondisi tersebut seperti ridigital suku bunga perbankan (penurunan bunga acuan direspon lambat oleh suku bunga perbankan) hingga struktur pasar oligopoli. “Hal-hal ini jauh dari persoalan yang diangkat oleh RUU ini,” paparnya.