Refleksi Beragama 45, Islam dan Buruh

Dr. H. Lutfi Lukman Hakim, Lc., M.H.I
Dr. H. Lutfi Lukman Hakim, Lc., M.H.I
0 Komentar

BURUH atau pekerja dalam al-Quran maupun hadits disebut dengan istilah al-Ajir. Yaitu seseorang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan imbalan atau upah (ujrah). Istilah al-Ajir merupakan penyebutan yang terhormat dan sangat mulia, karena berbanding lurus dengan imbalan atau upah sebagai hak yang seharusnya diterima sesuai dengan perjanjian kerja. 

Berbeda dengan istilah al-‘Abd atau al-‘Abid yang lazim dikenal dengan sebutan budak atau hamba sahaya. Disebut dengan al-‘Abd, karena walaupun dia bekerja untuk orang lain, dia tidak mendapatkan hak yang semestinya dia dapatkan. Bahkan dirinya sendiri dijadikan sebagai komoditas perdagangan milik majikannya, disamping orang itu dipekerjakan juga oleh majikannya.

Islam sangat mewanti-wanti kepada siapapun yang mempekerjakan seseorang untuk memperhatikan dan memberikan hak orang tersebut. Dalam hadits qudsi riwayat al-Bukhari, Allah mengancam kepada seseorang yang mempekerjakan pekerja dan sudah menyelesaikan kewajibannya namun tidak dibayar upahnya, maka seseorang itu akan menjadi musuh Allah pada hari Kiamat. 

Baca Juga:Kakanwil Kemenkumham Jabar: Jangan Menjadi Orang yang Berpura-Pura BerkontribusiKunjungi Rutan Garut, Kakanwil Jabar Semangati dan Beri Motivasi WBP

Nabi Muhammad pun dengan tegas mengingatkan kepada siapapun untuk sesegera mungkin menyelesaikan hak-hak pekerja dengan tidak menunda-nunda pembayarannya. Dalam hadist riwayat Ibnu Majah, Nabi bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya”

Hal di atas, menunjukan bagaimana apresiasi ajaran agama terhadap upaya seseorang untuk mendapatkan penghasilan yang bersifat materil sebagai rizki yang halal. Bahkan disebutkan dalam hadits lain, bahwa sebaik-baiknya rizki yang dimakan oleh seseorang, merupakan hasil kerja keras, jerih payah dan tetesan keringat sendiri yang disebut dengan kasab (‘usaha’ seseorang).

Penyebutan istilah al-Ajir, tidak dikhususkan pula kepada satu kategori/jenis pekerjaan. Islam tidak hendak membatasi ruang lingkup pekerjaan manusia. Agama sangat menekankan pesan moral kepada siapapun yang mempekerjakan seseorang, untuk memperhatikan hak-hak seseorang sebagai pekerja atau buruh. 

Dalam al-Quran, disebutkan bahwa nabi Musa as. sebelumnya pernah menjadi seorang pekerja. Musa kala itu adalah seorang yang bekerja untuk memelihara ternak dan memberi pakan kambing milik keluarga nabi Syuaib. Usulan mempekerjakan nabi Musa berasal dari salah satu anak perempuan nabi Syuaib, setelah mengetahui karakter yang dimiliki oleh nabi Musa, sebagai pribadi yang kuat secara fisik (al-Qawiyyu) dan orang yang jujur (al-Amin). 

0 Komentar