Refleksi Beragama 09, Baju Taqwa

Refleksi Beragama 09, Baju Taqwa
Dr. H. Lutfi Lukman Hakim, Lc, M.H.I
0 Komentar

Menutup aurat disebutkan lebih awal dari gaya berbusana, mengandung arti bahwa yang harus didahulukan dalam berpakaian adalah unsur menutup auratnya sebagai fungsi primer, bukan gaya berbusana sebagai fungsi sekunder pakaian.

Seolah harga diri dan kehormatan manusia ditentukan oleh baju yang dipakainya. Tidak sedikit orang berlomba memakai baju mahal dan branded, hanya demi harga diri seseorang. Dalam pepatah bahasa Arab disebutkan, “pakaian seseorang akan dihormati orang sebelum berjumpa, dan ilmu seseorang akan dihormati orang setelah berjumpa”. Itulah penilaian keumuman orang.

Kaitannya label taqwa dengan pakaian, dalam ayat disebutkan libas at-taqwa yang artinya pakaian taqwa, maka hendaklah taqwa dengan rumusnya yaitu menjauhi larangan Allah dan rasulnya, dijadikan benteng pertahanan diri setiap orang dalam menjalani kehidupan di dunia. Ketika kita berhadapan dengan larangan Allah dan rasulnya, maka alarm dalam hati kita seharusnya menyala dan berbunyi.

Baca Juga:Refleksi Beragama 08, Bekal TaqwaKapolsek Cikelet dan Jajaran Dengarkan Curhat Warga di Masjid Darut Takwa Cijambe

Al-Quran tidak menyebut dalam ayat itu dengan tsaub at-taqwa. Hakikatnya, taqwa tidak untuk dijadikan simbol, label atau identitas dalam keseharian. Layaknya baju yang dipakai oleh seseorang bahkan dijadikan kebanggan ketika digunakan, namun pakaian tersebut tidak menutupi aurat seseorang itu.

Taqwa bukanlah berbentuk baju yang dipakai manusia dengan sebutan baju taqwa yang biasa dipergunakan secara khusus untuk melakukan ibadah seseorang di masjid dan di pengajian. Ketika orang tersebut jauh dari masjid, kembali lagi kepada habitatnya, dengan tetap melanggar larangan Allah. Yang disebut dengan sebagai penikmat STMJ, Shalat Terus Maksiat Jalan. (*)

0 Komentar