Edhy Prabowo Divonis Ringan, Begini Kata Pusako

Edhy Prabowo Divonis Ringan, Begini Kata Pusako
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengenakan baju tahanan seusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (25/11). KPK menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka setelah ditangkap di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, terkait dugaan suap penetapan izin ekspor benih lobster. (Issak Ramdhani/Fajar Indonesia Network)
0 Komentar

JAKARTA – Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, tindakan korupsi para pejabat pada saat ini ditoleransi. Pernyataan itu ditandai dengan vonis lima tahun yang dijatuhkan hakim terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Bahkan, dirinya menilai Indonesia tengah dalam fase kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Hal ini, kata dia, ditilik dari rendahnya sanksi pidana yang diberikan kepada koruptor.

“Tren ini akan terus terjadi ketika semangat pemerintahan yang toleran terhadap koruptor. Buktinya sanksi mereka sebanding dengan sanksi pencurian kecil,” kata Feri ketika dihubungi, Sabtu (17/7).

Baca Juga:Soal Bansos, Presiden Berpesan Agar Risma Jangan RaguMenkumham Jamin Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum Akan Terpenuhi

Ia menekankan, pada era Presiden Joko Widodo, niatan pemerintah untuk memberantas korupsi sudah dimusnahkan. Akibatnya, menurut dia, timbul nilai-nilai yang permisif dalam melindungi koruptor dengan berbagai cara.

Diketahui, Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah memvonis Edhy Prabowo lima tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider enam bulan dalam kasus suap ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.

Hakim menyatakan Edhy Prabowo bersama bawahannya terbukti menerima suap USD77 ribu dan Rp24,6 miliar untuk mempermudah pengajuan ekspor benur.

Selain pidana pokok, hakim mewajibkan Edhy Prabowo membayar uang pengganti sebanyak USD77 ribu dolar dan Rp9,6 miliar.

Hakim juga mencabut hak politik Edhy Prabowo untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun setelah menjalani pidana pokok.

Dalam putusannya, Edhy dinilai terbukti menerima suap Rp25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur. Suap diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir BBL lainnya.

Edhy juga harus membayar uang pengganti Rp9.687.447.219 dan uang sejumlah 77 ribu dollar AS dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan. Apabila uang pengganti tidak dibayar setelah satu bulan putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya disita untuk menutupi uang pengganti. (riz/fin)

0 Komentar