Karena di zaman Nabi tidak pernah zakat fitrah dengan dinar atau dirham. Di zaman Nabi, zakat fitrah itu menggunakan kurma, gandum, kurma kecil yang dijemur, atau susu yang dikeringkan atau dijemur mirip seperti mentega atau keju di zaman ini. Empat makanan itulah yang dikenal sebagai makanan pokok di Madinah kala itu.
Ustadz Abdul Somad sendiri tidak pernah zakat fitrah menggunakan uang. Ia selama tahun 2008 hingga tahun 2017 (di masa ceramahnya waktu itu) terutama sepulang dari Maroko, selalu zakat fitrah dengan makanan pokok yaitu beras.
” Saya tak pernah bayar pakai duit, saya bayar akai beras,” ujarnya.
Baca Juga:Diterjang Ombak Pasang, Pj Gubernur Pastikan Nelayan di Rancabuaya Akan Dapat BantuanYudha Dampingi Pj Bupati Garut, Kunjungi Tuti Lansia Dhuafa Penderita Stroke di Pakuwon
Ustadz Abdul Somad juga berpendapat, pakai beras itu bukan 2,5 kilogram, tapi dibulatkan menjadi 3 kilogram. Sebab satu sha itu menurutnya sama dengan 3 kg.
Kendati demikian, ustadz Abdul Somad tidak menyalahkan jika ada yang ingin zakat fitrah dengan uang.
” Tapi saya tak menyalahkan yag pakai duit,” ujarnya.
Sementara itu menurut Buya Yahya, juga menjelaskan bahwa di dalam mazhab Syafii, Hanbali dan Maliki, tidak mengenal zakat fitrah dengan uang. Ketiga mazhab ini zakat fitrah menggunakan makanan pokok.
Sehingga jika kita sebagai orang Indonesia, makanan pokoknya nasi atau beras, maka zakat fitrahnya harus dengan beras, yaitu satu sha. Dan jika dikonversi ke kilogram antara 2,4 sampai 2,8 kilogram, ( dikira-kira).
Kendati demikian lanjut Buya Yahya, di dalam mazhab Hanafi, diperbolehkan zakat fitrah dengan uang.
Dan jika memang kasusnya zakat pakai beras dianggap ribet, Buya Yahya memperbolehkan zakat pakai uang mengacu kepada pendapat mazhab Hanafi ini. Atau jika memang keperluan si fakir miskin itu lebih diperlukan uang daripada beras, maka boleh-boleh saja zakat fitrah menggunakan uang.(fer/ale)