Humas dan Jurnalis memang kadang jadi mitra strategis ketika antara dua kepentingan mereka bisa terpenuhi yakni wartawan terpenuhi kebutuhan informasi sebagai bahan berita dan humas terbantu dalam publisitas. Namun kadang juga seperti tom and jerry atau ibarat air dengan minyak, suka berantem dalam tandakutip “bersebrangan”. Humas berusaha keras memoles lembaganya sekinclong mungkin, sementara redaksi tempat jurnalis bernaung ngotot dengan konsep “Bad News is Good News” ketika berita buruknya berkaitan dengan satu Lembaga pemerintah, nah terkadang disitu terjadi huru-hara perbedaan pandangan.
Namun jika jurnalis maupun media menanggalkan sikap skeptis atau kritisnya, ini tentu berbahaya karena media sendiri merupakan pilar keempat demokrasi. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika semua media menjadi corong pemegang kekuasaan? Dimana ruang bagi rakyat dalam menyampaikan aspirasi atau kontrol sosial jika pemegang kebijakan bebrbuat khilaf.
Maka dari itu kedepan tentu media harus Kembali berada di jalannya, sesuai dengan khitohnya. Ya meski saat ini pun masih ada media-media yang kritis, namun saya pikir masih kurang karena di tengah kemajuan tekonoligi informasi dan kompleksitas pemegang kuasa media yang terkadang dipegang pihak-pihak yang punya kepentingan ekonomi maupun politik, maka sudah saatnya kode etik jurnalistik dan penegakan undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 kembali digalakan dengan komitmen dari semua pihak demi menegakan pilar keempat demokrasi. (*)
Penulis : Muhamad Erfan