Imat Rohimat, merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dari pasangan Acep Ruhiyat dan Hj Ai Rohimah. Setelah lulus SMA ia belum sempat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, lantaran sang Ayah yakni Acep Ruhiyat meninggal dunia. “setelah itu saya tidak kuliah belum sempat kuliah. Saya jadi tanggungan keluarga, saya harus mengurus ibu dan kedua adik saya,” ujarnya.
Demi bisa menanggung keluarganya tersebut, Imat mencoba peruntungan dengan mendaftarkan diri menjadi seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI), di masa tersebut dirinya berhasil lulus hingga tahapan terakhir yakni Pantukhir (Pemantauan Terakhir), sebelum akhirnya kesempatan itu pupus lantaran orang tuanya tidak setuju dirinya menjadi seorang TNI.
“Saya tidak gugur tapi mengundurkan diri, karena orangtua saya nangis-nangis jangan sampai saya menjadi TNI, pokoknya bilangnya saya harus jadi Ustadz. Jadi saat Pantukhir saya mengundurkan diri, karena dilarang orangtua saya. Alasanya saya harus pesantren dan saya harus jadi Ustadz,” Katanya.
Baca Juga:Bey Machmudin: Kerja Sama yang Solid Kunci Keberhasilan Pilkada Jabar 2024 Bos Jalan Tol Ikut Mundur Bersama Airlangga, Pilgub Jabar Semakin Terbuka untuk Balon Lain
Setelah mimpi menjadi TNI pupus, ia berpikir kembali bagaimana caranya bisa menghidupi sekaligus menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Akhirnya iapun memutuskan untuk terjun ikut bercocok tanam dengan terjun ke kelompok tani.
“Setelah itu saya berpikir apa yang harus saya lakukan di kampung. Saya terjun ke kelompok tani, saya bercocok tanam karena ada tanah peninggalan orang tua saya, itu sekitar tahun 1994. Saya rekrut saudara atau petani-petani dan dibentuk kelompok bertani bercocok tanam, saya dulu pernah dibilang pemuda prestasi karena ditahun segitu di kampung saya banyak tengkulak. Saya trobosan hasil sayuran itu dibawa ke induk Kramat Jati dan ke induk Cibitung Bekasi jadi tidak dijual ke tengkulak. Saya langsung trobos dan main di pasar induk, jualnya juga tidak ke orang Garut tapi ke orang luar seperti Banten, karena saya bisa nawar harga kalau dengan orang Garut cadel saya,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan perjalanan selama berada di kelompok tani, bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Pasalnya, pada zaman itu belum ada alat komunikasi semacam handphone ataupun nomor rumah seperti saat ini.