Yudha menjelaskan bahwa di Permenaker no 18 tahun 2022 dan di PP no 36 tahun 2021 tentang pengupahan, itu tidak melarang adanya lompatan tinggi terhadap UMK. Sehingga peraturan ini menurutnya jangan disalahpahami.
Selain itu Yudha pun menyebut, jangan hanya rigit atau kaku terhadap dua peraturan ini saja. Jangan hanya mengambil parameter inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi saja. Tetapi harus dilihat konteks kebutuhan hidup layak sebagai parameter yang baik untuk kenikan UMK.
” Sebenarnya menurut saya jangan rigit terhadap permenaker no 18 tahun 2022 maupun ke PP no 36 tahun 2021 tentang pengupahan. Harusnya konteksnya kebutuhan hidup layak,” tegas Yudha.
Baca Juga:Video Hoaks Beredar Setelah Gempa di GarutGempa 6,4 Magnitudo Terasa di Garut, BMKG Rilis dari Barat Daya Garut
Yudha pun cukup kesal, melihat minimnya kenikan UMK Garut dua tahun terakhir ini. Ditambah lagi dengan kabar yang sudah beredar hanya di kisaran 7,19 persen, menurutnya tidak ada keberpihakan terhadap kalangan buruh.
” Dewan pengupahan, yang di dalamnya Bupati dan di situ ada akademisi, tidak ada konteks empati pada para buruh di Kabupaten Garut,” pungkasnya.(*)