Komitmen BRI dalam sisi pembiayaan juga ditunjang oleh implementasi ESG yang unggul sehingga BRI dapat terus tumbuh berkelanjutan untuk menumbuhkembangkan UMKM.
“BRI merupakan contoh dari suksesnya green revolution. BRI juga dapat saya katakan sebagai World’s biggest & most successful profitable microbanking. It’s a great untold story. BRI dapat menjalankan bisnisnya sebagai commercial bank dengan membukukan laba Rp24,88 triliun dalam 6 bulan pertama di tahun 2022 dan sebagian di antaranya dikontribusikan kepada pemerintah melalui dividen serta pajak. BRI juga mampu menghadirkan social development impact ke masyarakat dengan jangkauannya yang luas,” tegas Jay.
Berbagai kebutuhan layanan finansial nasabah dapat terpenuhi melalui sederet inovasi yang dilahirkan BRI. Di antaranya ialah AgenBRILink yang merupakan branchless banking untuk hadirkan layanan yang dekat, cepat, dan lengkap kepada seluruh masyarakat.
Baca Juga:Inisiatif Transformasi Digital BRI Mampu Tingkatkan Inklusi Keuangan Indonesia, G20 SOE Conference: Bukti Nyata!Wakil Bupati Garut Sesalkan Penganiayaan yang Menimpa Rohimah, Pemkab Garut Akan Pulihkan Psikisnya
AgenBRILink telah menjangkau lebih dari tiga per empat atau 77% desa di Indonesia. Adapun hingga akhir September 2022, jumlah AgenBRILink telah mencapai 597.177 agen dengan jangkauan hingga 58.095 desa.
Senada, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo juga mengungkapkan peranan BRI dalam meningkatkan inklusi keuangan tidak hanya melalui agen laku pandai namun juga melalui Holding Ultra Mikro. “Keberadaan laku pandai telah mampu mendorong tingkat inklusi hingga 83-84% dan kami yakin dengan digitalisasi akan meningkat menjadi lebih dari 90 persen”, tambahnya.
Kartika menjelaskan bahwa terkait akses terhadap keuangan pihaknya menyadari bahwa banyak masyarakat di Indonesia yang tidak hanya berada di segmen mikro tetapi juga di segmen ultra mikro. Potensi ultra mikro di Indonesia ada sekitar 55 juta nasabah ultra mikro, dan ada sekitar 30 juta nasabah yang belum tersentuh oleh lembaga keuangan formal. “Mereka punya account atau memiliki model pembiayaan lain, tapi tidak dapat mengakses lembaga keuangan formal. Jadi kita bisa kategorikan nasabah ultra mikro ke dalam kategori unbankable dan unfeasible, ada juga feasible tetapi unbankable karena tidak memiliki collateral, dan nasabah yang sudah naik kelas. Kita melihat tahapan mereka untuk naik kelas ini sebagai proses, yang kita dorong mereka untuk naik kelas dari satu jenjang ke jenjang berikutnya, sehingga mereka bisa masuk dan mengakses kredit segmen komersial”, jelasnya.