Ibnu Arabi, Pengajar Cinta Kasih di Tengah Konflik

Ibnu Arabi, Pengajar Cinta Kasih di Tengah Konflik
KH Imam Jazuli Lc--
0 Komentar

Ketuhanan Allah suci dari memiliki pasangan maupun anak. Dia adalah Raja yang tidak ada yang menyertainya dalam kekuasaan, tidak ada menteri yang menolongnya. Dia adalah Pencipta, tak ada pihak lain yang ikut mengatur bersama-Nya. Dia ada dengan sendiri-Nya, dan tidak butuh pada yang menciptakan-Nya. Sebaliknya, seluruh makhluk yang ada selain diri-Nya butuh pada-Nya dalam wujudnya. 

Alam semesta ini ada karena-Nya. Dia adalah satu-satunya yang berhak memiliki sifat Wujud (ada). Dia bukan jauhad yang butuh pada tempat, bukan pula ‘Aradh (yang selalu berubah) sehingga mustahil menjadi abadi. Dia bukan jisim yang memiliki arah. Dia Mahasuci dari berbagai arah. Namun, Dia dapat dilihat melalui mata hati…” (Abdul Baqi Miftah Muhammad al-Sholih al-Dhawi, Mawsu’ah al-Mafahim al-Akbariah min Khilal Muqoddamah al-Futuhat al-Makkiyah li Ibn Arabi, 2016: 287).

Selain tauhid, Ibnu Arabi juga mengajarkan tentang konsep Insan Kamil. Dalam kitabnya Fushus al-Hikam,, Ibnu Arabi menyebut Nabi Adam as sebagai Insan Kamil (manusia sempurna), yang penciptaannya sangatlah murni (Coeli Fitzpatrick dan Adam Hani Walker, “Muhammad in History, Thought, and Culture,” Santa Barbara, California: ABC-CLIO, 2014: 440).

Baca Juga:Kerabat Sultan Deli Bertemu dengan Yusril Bahas Masalah Tanah Kesultanan di Sumatera UtaraKunker ke Majalengka, Puan Maharani Diteriaki Presiden: Ini Respons Mereka Secara Alami

Insan Kamil ini berkaitan erat dengan keesaan Tuhan, di mana Tuhan menjadikan Insan Kamil sebagai cermin-Nya. Insan Kamil adalah cermin Tuhan, dan melihat Insan Kamil seperti melihat Tuhan (John T. Little, “Al-Insān Al-Kāmil: The Perfect Man According To Ibn Al-‘Arab?”, The Muslim World, (January 1987), Vol. 77, No. 1: 43–54).

Sedangkan mengenai keberadaan Tuhan, Ibnu Arabi mengatakan bahwa Tuhan ada di dalam Insan Kamil, sehingga tidak ada pemisah antara Tuhan dan manusia. Tanpa ada Allah, maka mustahil manusia ada. Di sanalah ada Keesaan absolut. Dengan mencari hakikat keesaan ini di dalam diri manusia, maka seseorang akan sampai pada Allah (John T. Little,  1987).

Ajaran Ibnu Arabi tentang Wahdatul Wujud atau Insan Kamil yang dirinya menampung Allah mendapat penolakan keras dari para pengkritiknya. Misalnya, Ibnu Taimiah mengatakan, Ibnu Arabi pengarang Fushus al-Hikam ini terkadang terlalu banyak berimajinasi tentang Tuhan, dan terkadang pula lebih banyak membicarakan kebatilan. Allah lebih tahu Ibnu Arabi itu mati dalam agama apa (Ibnu Taimiah, Majmu’ al-Fatawa, 2011: 1/21).

0 Komentar