Alasan Kuat
Apa yang diupayakan BRI tak terlepas dari hasil riset internal atas pasar utama perseroan yaitu pelaku UMKM. Bahwa nasabah UMKM terutama di mikro dan ultra mikro, sudah familiar dengan gawai tetapi pengetahuannya masih terbatas dengan produk-produk keuangan.
“Kemudian cash transaction masih menjadi pilihan utama dan mereka lebih senang memilih lembaga keuangan itu yang sifatnya local. Kenapa demikian? Karena mereka sebenarnya butuh agility, butuh flexibility, karena memang ternyata mereka itu memiliki cash flow rata-rata tidak stabil dan kemudian mereka memilih hubungan-hubungan lewat agen daripada lewat institusi keuangan formalnya itu sendiri,” imbuh Sunarso.
Berdasarkan hal tersebut, BRI menyimpulkan untuk bisa menjangkau seluruh masyarakat Indonesia hingga di daerah-daerah tertinggal, terdepan, terbelakang, diperlukan hybrid antara digital dan juga manual.
Baca Juga:Ridwan Kamil Resmikan Situ Ciburuy, Diproyeksikan untuk Fungsi Sosial hingga Meningkatkan Geliat EkonomiSekda Jabar Dorong Efektivitas Digitalisasi Pengelolaan Sampah
Dengan demikian diharapkan BRI menjadi yang terdepan dalam mewujudkan aspirasi pemerintah untuk menciptakan inklusi keuangan yang mencapai 90% pada 2024. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui riset 3 tahunan menyatakan indeks inklusi keuangan Indonesia baru sekitar 76% pada 2019.
“Kesimpulan, bahwa kita siapkan digital banking, tetapi jangan meninggalkan yang manual, karena masyarakat masih membutuhkan itu. Kita ikuti saja journey-nya masyarakat dan kita pastikan bahwa seluruh program kita baik yang sifatnya manual ataupun yang digital kita kawal dari atas sampai ke bawah dan kita pastikan bahwa semua inisiatif yang kita rencanakan itu bisa dieksekusi dengan baik,” pungkas Sunarso. (*)