Dan secara institusi, sudah ada Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) untuk pelaporan dan pengaduan terpadu. Kedua ada hotline, wali kota dan bupati agar mempromosikan nomor telepon yang bisa dihubungi untuk pengaduan dan penanganan korban.
“Saya titip 10 (berani, red) ini jangan hanya dibicarakan ya, itu arahan saya. Tiap poin ini harus dijabarkan dengan mudah dimengerti oleh perempuan dan anak-anak. Jadi, kalau mereka mengingat 10 berani ini, akan mudah melakukan aksinya,” tegas Ridwan Kamil.
Diakui Ridwan Kamil, program mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak sebenarnya sudah ada. Hanya saja, gaungnya, serta kolaborasinya masih mayoritas berada di peran negara.
Baca Juga:Migrasi TV Analog ke Digital, Ridwan Kamil: Peluang 240.000 Lapangan Kerja BaruUji Coba Kereta Cepat Jakarta Bandung, Ridwan Kamil: Dilakukan pada Perhelatan G20
Sedangkan teori hari ini, beber Kang Emil, kolaborasi itu ada lima. Namanya pentahelix. Yakni, akademisi, bisnis, Ketiga, komunitas, pemerintah dan media.
“Sekarang, gerakan mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak di manapun, mau di lingkungan privat, di lingkungan publik, itu kita dorong lebih kuat kolaborasi pentahelix itu. Jadi 5 pemangku kepentingan yang harus berkolaborasi serta menyukseskan program Jabar Cekas ini. Tidak lagi hanya bertumpu di pemerintahan saja,” pungkas Kang Emil.
Sementara itu, Kepala DP3AKB Dra. Hj. I Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka, MSi. mengatakan, berdasarkan data Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat, pada 2021 lalu tercatat 505 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Padahal, di 2020 angkanya lebih kecil, yakni 389 kasus.
Gusti Kim merinci, jenis kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diadukan ke UPTD-PPA. Yakni, sebanyak 127 kasus fisik, 318 kasus psikis, 81 kasus seksual, 25 kasus ekploitasi, 35 kasus trafficking, 73 kasus penelantaran dan 66 kasus lainnya, dengan jumlah kasus sebanyak 725 kasus.
“Hal ini dikarenakan satu orang korban ada yang mengalami beberapa bentuk kasus kekerasan,” ujar Gusti Kim.
“Dampak dari tindak kekerasan itu sendiri, di antaranya bisa mengakibatkan bunuh diri, kematian, cacat tubuh, gangguan kehamilan, tidak mampu berkonsentrasi, mudah curiga kepada orang lain, cemas, malu, marah dan lain sebagainya. Selain itu, korban kekerasan seksual harus berhadapan dengan budaya penyangkalan dan menyalahkan korban yang masih tinggi,” beber Gusti Kim.