“Itu, di belakang rumah puisi itu,” jawab salah satu dari mereka. Mereka menyebut jarak gunung batu dengan rumah puisi tersebut hanya 20 meter. Rasanya lebih sedikit.
Saya disuguhi buah-buahan hasil pekarangan: rambutan dan kepel. Rambutannya manis. Kepelnya seperti kesemek.
Waktu kecil saya tidak pernah mau makan kepel di halaman rumah kakek buyut di pesantren Takeran. Kemarin saya memakannya.
Baca Juga:Aula Kantor Kecamatan Cibatu Kebakaran, Kerugian Ditaksir Rp100 jutaMogok Massal Pedagang Tahu Tempe di Pasar Cikurubuk Diduga Disabotase oleh Surat Edaran Palsu
Mata saya pun tertatap pada bibit-bibit pohon buah. Aneka pohon. Dijejer di pinggir jalan. Banyak juga bibit durian.
“Itu bibit durian apa saja?”
“Ada bawor, ada yang tidak berbiji,” jawab petani itu.
“Hah? Tidak berbiji?”
“Ada. Tapi bijinya kempeng tipis,” katanya.
“Berapa harganya?”
“Bapak ambil saja. Semua. Gak usah bayar,” pintanya.
Saya pun mengambil empat. Yang tidak berbiji itu. Istri saya lebih cekatan menangkap sinyal. Ia slempitkan sesuatu di sakunya.
“Apakah hari itu Anda tidak takut?” tanya saya mengenai hari yang mencekam itu.
“Takut sekali. Saya lari ke bukit,” jawabnya.
Di bukit itu ada sebuah rumah bambu. Isinya orang tua, wanita, yang lagi sakit. Ia langsung tidur di sebelah nenek yang lagi sakit itu.
Tak lama kemudian datang petugas mengetuk pintu. “Kami lagi menunggu orang sakit,” jawab petani itu.
Si petugas, katanya, mengintip dari lubang dinding bambu. Lalu pergi.
Sampai jam lima sore ia di ranjang nenek sakit itu. “Lapar sekali, tapi saya tahan,” katanya.
Pukul 17.00 keadaan baru tenang. Ia pulang.
“Nenek itu sampai sekarang masih sakit?”
“Masih. Memang sudah tua sekali,” jawabnya.
Saya sebenarnya ingin berhenti di tiap rumah. Menikmati kata-kata, gambar-gambar, dan komik yang kritis nan jenaka.
Baca Juga:Perceraian Vicky Prasetyo Bukan Karena Miyabi, Nabella Ungkap Fakta LainCovid-19 Meningkat di Kabupaten Garut, Nakes juga Terpapar
Tapi saya harus pulang. Saya hanya mampir ke sini. Saya ingin pulang lewat Selo —selangkangan dua Mer itu, Merapi dan Merbabu. Dulu, ada selangkangan satu Mer lagi: Anda sudah tahu.
Saya pun pamit ke Kiai Nur.
“Bisa dapat nomor telepon?” tanya saya.
“Hemmmm…”, gumamnya sambil seperti meraba-raba sarungnya. “Handphone saya disita…,” katanya.
Ia pun bercerita. Di hari yang mencekam itu ia pilih tinggal di masjid. Bersama lebih 100 orang. Mereka mujahadah —berdzikir sepanjang hari. Dengan begitu mereka tidak akan ditangkap. “Yang keluar masjid untuk wudu saja ditangkap,” katanya.