JAKARTA – Penggunaan pakaian adat Suku Baduy oleh Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan MPR 2021 dianggap telah menepis stigma negatif.
Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia Abetnego Tarigan mengatakan, presiden telah mengangkat ke tingkat paling tinggi di salah satu acara kenegaraan.
“Hal ini dapat dimaknai sebagai cara presiden untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan Suku Baduy,” katanya dalam siaran pers KSP, Senin (16/8).
Baca Juga:Dewan Pendidikan Tinjau PTM di Korwil Leuwigoong dan CibiukSetelah Dibangun Sumur Bor, Tak Ada Lagi Warga Cibiuk Kidul yang Turun ke Sungai
Menurutnya, KSP menganggap bahwa langkah Jokowi menggunakan pakaian adat dan mengangkat kebudayaan Suku Baduy dalam acara kenegaraan ini merupakan suatu inisiatif yang baik dalam menekankan kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pakaian adat ini disiapkan secara pribadi oleh Tetua Adat Masyarakat Baduy sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija. Presiden Jokowi pun mengatakan bahwa desain pakaian adat Baduy sangat sederhana dan sangat nyaman untuk dikenakan.
Abetnego menyampaikan sebutan Baduy sendiri merupakan sebutan yang disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten.
Namun, penyebutan Suku Baduy cenderung mengarah pada makna peyoratif karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda. Para kolonial, kata dia, secara gegabah mengidentifikasi Suku Baduy layaknya suku Badawi di tanah Arab yang hidup secara nomaden dan dianggap liar.
Menurutnya, walaupun kelompok masyarakat ini menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, namun dalam perkembangannya, istilah Baduy kini tidak lagi bersifat peyoratif karena penyebutannya oleh banyak orang tanpa ada niatan untuk merendahkan. (khf/fin)