JAKARTA – Obat generik COVID-19 yang diberi merek tertentu oleh produsen memicu lonjakan harga. Tak tanggung-tanggung. Nilainya hingga sepuluh kali lipat lebih mahal dari harga normal di pasaran.
“Saya dapat banyak masukan dari produsen obat. Masalahnya di kita adalah banyak obat generik yang kemudian dibranded. Sehingga menjadi nama branded generik,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kepada Komisi IX DPR RI secara virtual di Jakarta, Selasa (6/7).
Dia mencontohkan pemanfaatan hampir 100 persen bahan baku Favipiravir yang kemudian diberi label sendiri. Akibatnya harganya tidak terkontrol. Bisa naik hingga sepuluh kali lipat lebih mahal dari obat generik.
Baca Juga:Memo Hermawan: Masyarakat Harus Bekerjasama dengan Pemerintah Melawan Covid-19PPKM Mikro Diperpanjang untuk seluruh Kabupaten/ Kota di Luar Jawa
Budi mengatakan obat paten COVID-19 yang beredar dengan merek seperti Avigan, Aviflex dan lainnya memiliki kandungan bahan baku generik Favipiravir. Begitu pula dengan obat generik Oseltamivir yang kini kembali diproduksi dengan nama lain. Seperti Tamiflu dan lainnya.
Dia meminta kepada seluruh produsen obat untuk menyetarakan harga jual sesuai dengan ketentuan harga yang telah ditetapkan pemerintah. Sebab saat ini tingkat permintaan masyarakat yang tinggi di tengah situasi pandemi.
“Saat ini situasinya sedang susah. Rakyat juga kurang pendapatannya dan membutuhkan akses yang banyak. Mohon pengertiannya agar obat yang masuk kategori Favipiravir, Oseltamivir atau apapun namanya agar harganya disamakan dulu,” lanjut Budi.
Ia mengatakan pemerintah sudah menghitung keuntungan dari produsen obat COVID-19 yang relatif besar. “Jadi harusnya mereka mempunyai ruang yang cukup untuk bisa melakukan harga tersebut,” tukasnya.
Pemerintah meminta seluruh produsen farmasi swasta untuk membantu rakyat yang sedang kesulitan dengan cara menurunkan selisih harga. “Tidak akan rugi. Karena kita sudah menghitung harga bahan bakunya,” tegas Budi.
Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) obat COVID-19 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021. Ini agar obat tetap bisa diakses masyarakat seiring meningkatnya angka positif kasus COVID-19. “Tingginya kebutuhan obat dimanfaatkan oleh sebagian pelaku usaha untuk menaikkan harga jual obat kepada masyarakat. Ini tidak boleh terjadi,” pungkasnya. (rh/fin)