GARUT – Tingkat kematian pasien Covid-19 di Kabupaten Garut dinyatakan sebagai yang tertinggi di Indonesia karena persentasenya mencapai 4,2 persen.
Tingginya tingkat kematian itu, menurut Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, Leli Yuliani karena mengacu pada hasil tes PCR. Selain itu, mereka yang meninggal juga kebanyakan disertai komorbid atau penyakit penyerta.
Leli menjelaskan bahwa saat ini di Kabupaten Garut yang diperiksa melalui PCR adalah mereka yang bergejala sedang atau berat.
Baca Juga:Yudha Puja Turnawan Raih Penghargaan dari Pemkab Garut di Hari Kebangkitan NasionalWarga Kampung Cikoang Terpapar Covid-19, Petugas Semprot Disinfektan
“Jadi otomatis kalau dari yang bergejala sedang atau berat angka kematiannya akan lebih tinggi kan,” jelas Leli, Rabu (19/5).
Mereka yang tidak bergejala atau ringan, disebut Leli, selama ini menjalani rapid antigen. Hasil dari pengujian tersebut pun sebetulnya diketahui cukup banyak, namun bisa memengaruhi terhadap persentase angka kematian akibat Covid-19.
“Jadi angka kematian sekarang itu dibandingkan dengan pemeriksaan PCR, padahal kita sekarang memang lebih memperbanyak rapid antigen. Dan itu kan rapid antigen itu hasil testingnya, misalkan seratus sehari tapi tidak dilaporkan. Yang dimasukan (dalam laporan) adalah yang dari rumah sakit, yang di CPR, itu sebetulnya mah. Kalau yang antigen dimasukan juga ke yang dites itu tidak akan terlalu tinggi gitu, sekitar 2 persen,” ungkapnya.
Dari hasil pemeriksaan rapid antigen, dikatakan Leli, jumlah mereka yang diketahui positif cukup banyak. Kalau hasil tes PCR saat ini di Garut di angka 9 ribu orang positif, jika digabungkan dengan yang rapid antigen jumlahnya lebih dari 11 ribu orang.
“Cuma pake yang rapid antigen, karena memang kan sudah ada juga apa surat dari Kemenkes mengenai bolehnya penggunaan rapid antigen untuk diagnostik, tapi itu tetap kalau untuk laporan ke pusat masih patokannya adalah hasil PCR,” katanya.
Namun demikian, mereka yang positif Covid-19 dari hasil rapid antigen tidak bisa dites PCR langsung karena mereka tidak bergejala atau gejalanya ringan. Kondisi saat ini, diakuinya, ada keterbatasan pemeriksaan PCR karena ada pengalihan dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) ke Kementerian Kesehatan dalam hal pengelolaan pemeriksaan PCR.
“Untuk sementara kemarin itu (tes PCR massif) dihentikan dulu. Itu alat dari BNPB yang bisa memeriksa 200 (sampel) perkali itu, jadi kita tidak menggunakan itu dulu. Yang digunakan adalah yang kapasitasnya 30 sehari itu, makanya lebih difokuskan ke yang bergejala sedang atau berat, yang di rumah sakit. Dan otomatis kalau bergejala sedang atau berat itu otomatis angka kematiannya lebih tinggi,” jelasnya.