Dia memaparkan, hasil survei dari orang tua terkait masukan setelah sebelumnya melakukan pembelajaran secara daring pada bulan April.
Banyak orang tua yang mengeluhkan pembebanan internet atau kuota terhadap pembelajaran anaknya. 100 persen orang tua mengharapkan anak bisa belajar daring secara mandiri. Anak bisa berkomunikasi dengan guru dan paling banyak komunikasi antara siswa, guru dan orang tua itu menggunakan Whatsapp (WA).
Sedangkan, kata dia, ada beberapa hal yang disampaikan oleh anak atas keinginan dari pembelajaran daring diantaranya; keinginannya agar pembelajaran ini tidak terlalu banyak dibebani tugas, materi dan pembelajarannya itu konseptual dan kontekstual.
Baca Juga:Disnaker Garut Mediasi Perselisihan Karyawan dengan PT Condong, 4 Bulan Gaji TelatOlahan Kulit Garut Berpotensi Tembus Pasar Global, Dirjen PKH Siap Dorong
“Dari semuanya antara orang tua dan anak, mereka berharap terjadi komunikasi dengan guru dan ada upaya juga beberapa daerah yang masih lokasi bleng spot,” jelasnya.
“Siswa juga merasa sangat terbantu dengan pembelajaran melalui televisi itupun juga masuk pada media kami dan yang terakhir kemampuan siswa belajar di rumah itu ternyata kemampuannya hanya 2-4 jam,” tambahnya.
Dari survei hasil tersebut, Dedi mengungkapkan pihaknya membuat regulasi seperti beberapa produk dan jobnis diantaranya untuk kegiatan kuota dan internet itu akhirnya sekolah yang menanggung kuota dengan menggunakan dana BOS dan dana BOP, Kemudian pola pembelajaran dengan metode daring dan ada luring (guru keliling).
Terkait dengan regulasi Daring, Dedi menjelaskan, ada 1300 titik lokasi yang berada di desa-desa pelosok yang tidak memiliki akses internet sehingga pihaknya melakukan kerjasama dengan pos untuk mengirim materi dan metode pembelajaran.
“Mereka (siswa yang berada di desa pelosok) sebetulnya di drop kuota apapun, memang tidak ada internet sehingga ada beberapa hal yang harus dikirim melalui pos beberapa metode pembelajaran,” pungkasnya. (mg1/yan)