GARUT – Dalam mengatasi dampak ekonomi akibat Pandemi covid-19 Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota menganggarkan dana untuk penanganan dampak ekonomi.
Tak terkecuali Pemerintah Kabupaten Garut juga mengalokasikan anggaran untuk penanganan dampak ekonomi masyarakat akibat Pandemi covid-19.
Namun demikian, dalam penerapannya, organisasi kemahasiswaan mempertanyakan yang dilaksanakan oleh Pemkab Garut diantaranya melalui dinas Sosial dan Dinas Kesehatan tersebut.
Baca Juga:Arab Saudi Akan Buka Ibadah Haji Bagi Jemaah Dalam Negeri, Kuotanya TerbatasDampak Pandemi COVID-19: Ridwan Kamil Imbau UKM untuk Migrasi ke Digital
Ketua PC PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Kabupaten Garut, Ipan Nuralam mengatakan bahwa dalam menangani wabah Covid-19 Pemerintah Kabupaten Garut telah mengalokasikan anggaran sebesar 547 miliar.
“Anggaran tersebut tersebar bersumber dari DAU (BTT). Sisanya alokasi atau anggaran untuk penanganan Covid-19 di Kabupaten Garut harus benar-benar tepat sasaran, terkhusus bagi masyarakat yang terdampak covid-19. Anggaran yang dialokasikan oleh Pemkab Garut dan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Dinas) dalam bentuk program dan kegiatan harus efektif, efisien, dan rasional,” ujarnya, Senin (22/6/2020).
Ipan mengungkapkan, berdasarkan hasil kajian PC PMII Garut mengacu dari data yang didapatkan, khususnya terkait realisasi anggaran penanganan Covid-19, terdapat beberapa alokasi anggaran yang tidak rasional.
“Sebagai contoh, pengadaan sejuta masker kain dari dinkes dengan harga Rp.5000,00/pcs dengan anggaran 5 miliar. Padahal harga rata-rata di pengrajin masker kain di Kabupaten Garut berkisar antara Rp.2000-2500/pcs,” ungkapnya.
Ia juga menilai bahwa pengadaan sejuta masker tidak sesuai dengan spirit awal untuk melindungi warga dari wabah dan sebagai distribusi keuangan bagi ekonomi bawah agar terjadi peningkatan ekonomi di tengah pandemi.
“Faktanya hal tersebut malah dikuasai oleh pengusaha-pengusaha besar yang notabene menjadi langganan Pemda dan berdekatan dengan penguasa bahkan keluarga bupati sendiri. Contohnya, pengrajin di Bayongbong yang hanya mendapat pesanan 5000 masker dan tidak dibayar oleh pihak ketiga, padahal kontrak itu 10600. Jadi jelas dalam hal ini terjadi caloisasi,” katanya.
Selain itu, dia juga mempertanyakan alokasi di Dinas Sosial yang mengeluarkan anggaran makan bagi masyarakat yang melakukan Rapid Test sebesar Rp 25 ribu untuk dua kali makan selama empat belas hari, berikut snack takjil sebesar Rp 15 ribu dengan anggaran keseluruhan Rp 88 juta untuk 200 orang.