RadarPriangan.com, GARUT – Sejumlah orang yang diduga terinfeksi virus korona mendapatkan stigma negatif di tengah masyarakat.
Mereka merasa tertekan dan dikucilkan dalam hubungan sosial. Padahal orang-orang ini belum tentu positif melainkan baru diduga. Misalnya adalah orang-orang yang divonis reaktif ketika menjalani rapid test.
“Ya jujur saja ketika dinyatakan reaktif, seolah-olah orang tersebut punya salah besar, bahkan terkesan akan adanya perundungan (bullying, red), padahal dinyatakan positif juga belum. Orang yang kena kasus juga tidak salah apa-apa secara hukum, tidak korupsi atau melakukan kejahatan. Kita cukup menyesalkan itu, karena beban moral yang dirasakan, masyarakat harusnya tahu bahwa korona juga itu bukan aib,” kata salah seorang warga di Kecamatan Tarogong Kaler yang tidak mau menyebut namanya.
Baca Juga:Ada PNS Dapat Bantuan Covid-19? Kades di Garut Keluhkan Data PemerintahBeredar Kabar Bupati Garut Diserang DBD, Puluhan Warga Astanagirang Juga
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah bisa lebih kuat mengedukasi masyarakat akan hal tersebut. Setidaknya kata dia, jika tidak ingin berempati seharusnya jangan sampai mencibir atau memberi kesan negatif pada pihak yang terdampak kasus korona.
Sementara itu, salah satu pejabat yang sempat dinyatakan reaktif rapid test namun akhirnya dinyatakan negatif korona (tidak terpapar Covid19), Wahyudijaya mengaku, sempat berat ketika ia harus menjalani karantina mandiri setelah reaktif pada Rapid Test.
Salah satu beban yang ia rasakan yaitu dampak psikologis. Padahal kala itu, dirinya merasa sehat, enak makan, dan bisa beraktivitas sehari-hari.
“Beban pikiran justru yang dirasakan kala itu, kalau badan sehat, makan masih merasa enak. Saat saya dinyatakan reaktif, tapi pas di rumah sakit (untuk karantina, red) non reaktif, kemudian dilakukan tes swab beberapa waktu akhirnya hasilnya keluar dan negatif (dinyatakan tidak terkena virus korona, red), disana agak lega,” pungkasnya saat diwawancarai Rabu (3/6/2020). (erf)