Oleh : Dr. Ijudin, S.Ag., M.Si. (Wk. Rektor Universitas Garut)
RadarPriangan.com, GARUT – Kehadiran puasa kali ini sangat berbeda sekali dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mengingat ummat Islam melaksanakan puasa di tengah merebaknya wabah Korona.
Pandemi akibat virus Korona tidak hanya berdampak pada kesehatan banyak orang, tapi juga berdampak pada ekonomi dan aspek kehidupan lainnya.
Baca Juga:Melawan Covid-19, Seperti Ini Pesan Pak Dewan untuk ASN GarutSetelah Kontak Erat dengan Positif Covid-19, 47 Orang di Garut Jalani Rapid Test
Di tengah kondisi seperti ini, Puasa Ramadhan bukan sekadar menahan haus dan lapar, puasa sejatinya juga untuk melatih pengendalian diri dan merasakan penderitaan orang lain.
Oleh karena itu, puasa Ramadhan ini harus dimaknai untuk menumbuhkan empati dan membangun solidaritas sosial yang kuat demi membangun Indonesia damai dan sejahtera.
Al-shaum al-ihtimam, puasa itu menumbuhkan perhatian atau rasa empati. Perhatian kepada siapa? Perhatian kepada Allah, dengan semua syari’at dan ajaran-Nya, perhatian kepada semua sunah Nabi-Nya, juga sangat perhatian kepada sesama umat manusia.
Orang yang berpuasa dianggap tidak sempurna imannya, jika ia tidak memiliki rasa empati.
Karenanya, perhatian, rasa empati dan kepedulian adalah diantara syaria’t Allah yang tidak terpisahkan dari syari’at Allah lainnya. Bahkan salat, puasa dan haji seseorang dianggap dusta jika ia tidak memiliki rasa empati dan kepedulian yang nyata kepada orang-orang yang ada disekitar kita.
Oleh karena itu, rasa empati dan kepedulian adalah amaliah nyata yang harus dibangun oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, lebih-lebih bagi orang yang sedang berpuasa.
Sikap empati ini pernah dipraktekkan Umar bin Khattab RA, seorang penguasa adil yang mampu dengan baik memberikan kepeduliannya kepada rakyat yang dipimpinnya.
Baca Juga:Pintu Masuk Menuju Garut Dijaga Ketat, Pemudik Harus Putar BalikAktivitas di Pengkolan Garut Mulai Dibatasi, Pasca Munculnya Kasus Positif Korona KC-7
Suatu hari, Umar bin Khattab pergi dari rumah untuk mengetahui secara langsung keadaan rakyatnya. Dia bertemu dengan seorang laki-laki yang duduk dengan rasa sedih dan gelisah di pintu mesjid. Umar bertanya,
“Ada apa dengan-mu?” Laki-laki itu menjawab, “Istriku hampir melahirkan, tetapi kami tidak memiliki apapun dan tidak seorang pun bersamanya”. Umar menanyakan rumahnya.
Kemudian, dia menunjuk sebuah tenda di pinggiran Kota Madinah. Setelah menemui istrinya, Umar pun mengajaknya langsung, “Maukah kamu memperoleh kebaikan yang Allah antarkan kepadamu?” Istrinya bertanya, “Apa itu ya Amirul Mukminin?” Umar menjelaskan, “Seorang wanita hampir melahirkan dan tidak ada yang menemaninya”. Istrinya pun menyetujuinya.